17 April 2016

Sahabat Penaku

Jumat lalu, 15 April 2016.

Anak-anak kelas 3 mendapatkan balasan surat dari sahabat pena mereka. Hari ini jadwal kami belajar bahasa Indonesia. Saya pikir wah kebetulan lah, kalau saya membagikan surat hari ini.

Ketika saya masuk kelas, sembari membawa kantong berisi amplop. Mereka menyambut dengan senyum sesumbar yang bahagia. Menantikan surat balasan mereka, yang sebelumnya telah kami kirimkan terlebih dahulu ke Sekolah Global Mandiri di Cibubur.

"Ibu... Surat kami kah itu Ibu?" Tanya mereka
"Menurut kalian?" Tanya saya balik
"Horeeeee...." teriak mereka bahagia.

Saya pun langsung membuka bungkusan plastik yang berasa surat-surat tersebut dan langsung membagikannya kepada anak-anak. Di bagian depan amplop sudah tertera nama mereka masing-masing, sehingga saya hanya langsung memanggil nama anak saja yang tertera di kertas amplop tersebut.

Beberapa anak telah mendapatkan surat, bahkan ada satu anak yang mendapatkan surat lebih dari satu, dua tiga bahkan empat surat dari sahabat penanya. Saya pun bingung, entahlah mungkin di sana pun kebingungan karena kelas kami terlalu banyak murid yang mengirimkan surat. Sedangkan sekolah global mandiri satu kelas berjumlah sekitar 20 orang.

Well, beberapa anak sudah mulai dag dig dug entahlah. Mungkin mereka ada yang takut dan kecewa karena nama mereka belum dipanggil-panggil oleh saya. Dan memang benar, beberapa anak, mungkin sekitar 16 anak yang belum mendapatkan surat balasan. Sekitar 7 surat masih ada di tangan saya, namun beberapanya untuk anak yang memang hari itu tidak masuk sekolah dan beberapa surat tidak ada tertulis nama penerimanya. Sehingga, saya mulai berfikir bahwa saya bagikan saja suratnya untuk beberapa anak yang belum mendapatkan surat balasan.

Saat itu hanya ada 2 surat yang tidak ada nama penerimanya, sehingga saya harus memilih 2 orang dari 16 anak yang belum mendapatkan suratnya. Semua anak pun berebut ingin mendapatkannya. Akhirnya, saya pun memutar cara supaya mereka tidak berebut untuk dapat mendapatkan surat tersebut.

Saya memberikan tes perkalian kepada mereka. 2 orang yang menjawab benar, akan mendapatkan surat ini, dan mereka boleh membalasnya. Saya pun memberikan 2 soal perkalian, dan mereka antusias untuk menjawab pertanyaannya tersebut. Alhasil, yang mendapatkan surat tersebut adalah Daniel dan Mei. Karena mereka berdua menjawab dengan betul pertanyaannya.

Apa kabar yang lain?
Ah, mereka selalu saja membuatku merasa bersalah :( Dan akhirnya saya pun menawarkan kepada anak-anak:

"Anak-anak, kalian mau tidak untuk berbagi surat kepada teman kalian yang belum mendapatkan suratnya? Kan ada yang mendapat surat lebih dari satu kan?" Tanya saya
"Iya Bu! Kami mau berbagi surat kami ke teman-teman yang lainnya". Jawabnya.

Entahlah, rasa berbagi mereka sungguh luar biasa. Meskipun terkadang harus saya dulu yang memulai melakukannya. Namun, akhirnya mereka pun mengalah dan melakukan hal tersebut. Pernah suatu ketika, salah satu meja kami rusah parah. Akhirnya karna tidak ada yang mau berbagi, saya pun menawarkan untuk mengambil meja saya. Mereka pun tetap bilang "Ndak usahlah Ibu. Mereka duduk dekat kami saja. Kami bersama-sama meja juga di sini." Ucapnya.

Daaannn tadaaaa... mereka pun sudah mendapatkan surat semuanya. Bahagianya mereka meskipun di awal mereka agak sedikit kecewa, namun dengan cara seperti ini pun masih saja membuat mereka bahagia :)

Yey... Surat kami telah tiba :D

--KL, 17 April 2016--
--vidahasan--

Share:

Nisa Bukan Anak Nakal

*Cerita ini adalah salah satu cerpen yang dikarang sendiri oleh siswa saya kelas 6. Salma namanya. Saya memang sengaja memasukkan ke dalam blog ini, karena melihat Salma seperti melihat masa lalu saya. Suka menulis, namun belum ada media untuk menyimpan tulisan-tulisan saya ini. Semoga dengan adanya tulisan Salma di blog ini, dapat memberi motivasi anak-anak yang lainnya. So, check it out and enjoy this story*

NISA BUKAN ANAK NAKAL

Namaku: Annisa Madyiah, panggilanku Nisa. Aku anak kesayangan ayah dan ibu. Aku anak tunggal, tetapi dua bulan kemudian ibu mengandung. Pertama-tama aku merasa bahagia karena aku akan mempunyai adik seperti teman-temanku yang lain. Bermain bersama adik. Setelah Ibu melahirkan anak perempuan, aku menjadi merasa marah. Karena kehadiran adik, aku merasa kasih sayang orang tuaku berarti ke adik, dan aku diabaikan.

Biasanya jika aku berangkat sekolah aku dipakaikan baju sama mama. Sekarang tidak lagi, gara-gara adik, ibu selalu menyuruhku memakai pakaian sendiri. Aku rasanya tidak terurus sama mama dan papa. Mereka hanya sayang pada adik, sedangkan aku enggak. 10 tahun kemudian aku sudah berusia 12 tahun, adikku 5 tahun. Aku mungkin kelihatan enggak sayang sama adikku. Aku slalu marah adik, pukul adik, hari yang cerah aku enggak sekolah tapi adik membangunkanku. Aku sangat marah padanya, memukulnya hingga adik menangis.

"Ayah, Ibu... Aku dipukul sama kakak" Ayah dan ibu naik menuju kamarku.
"Nisa kenapa? Nisa kenapa selalu pukul adik, marah adik, dan bentak-bentak adik?"
"Pah, adik mengganggu. Aku lagi tidur."
"Pah, aku bangunin kakak, karen kakak menerima surat dari temannya."
"Bohong kamu? kamu sengaja kan supaya kakak dipukulin sama Papa?"
Aku berkelahi sama adik lagi.
"Sudah? Nisa memang nakal sekali. Papa selalu lihat kakak pukulin adik."
"Papa."
Papa selalu membela adik dan selalu marah Nisa. Papa dan adik keluar dan aku langsung mengunci pintu dari dalam sambil membanting diri ke kasur dan menangis.

Dalam hati aku berkata, kenapa papa dan mama sayang adik dan aku tidak? aku menangis tersedu-sedu sambil membayangi wajah adik. Aku marah dan membanting buku dan yang ada di dalam kamarku. Aku menangis dan tidak mau makan.

Setelah tangisanku reda, Papa mendapat kabar bahwa kakek meninggal. Aku sangat sedih dan "menangis hingga mataku bengkak. Cuma kakek yang mengerti perasaanku dan memahami diriku tanpa terasa, aku menangis terus. Aku merasa mataku perih, rasanya aku tidak melihat apa-apa dan aku pun pingsan dan dapat perawatan di rumah sakit. Dokter menyatakan bahwa aku buta, aku merasa sangat sedih.

Dalam hati aku berkata bahwa adik lah yang membuatku buta.

"Kamu puaskan lihat aku buta?"
"Enggak, kakak! Aku sangat merasa sedih dengan keadaan kakak"
Karena merasa bersalah adik, mendonorkan matanya. Setelah kakak enggak buta lagi, dia sangat bahagia tapi adiknya yang harus menderita.

 "Ibu, aku enggak buta lagi. Aku sudah bisa melihat lagi, ibu membawa adik. Adik memegang tongkat
 "Kakak.. Kakak uda sembuh?"
Dengan perlahan air mataku menetes melihat adik.

Mungkin selama ini aku jahat sama adik dan selalu salah kau. Aku sadar aku bukan kakak yang baik, aku sangat sedih dan aku menjadi merasa sangat bersalah terhadap adikku.

Aku memeluknya dengan erat dan meminta maaf pada adikku.
"Adik, kakak minta maaf sayang. Kakak sangat sayang kamu"
"Kakak, aku sangat sayang kakak dan bangga punya kakak seperti ini, cantik dan bergaya"
"Adik"

Aku sadar aku salah. Aku tidak akan pernah buat adik sedih lagi. Karena mata yang aku pakai adalah matanya dan hari ini adik tidak lagi sedih karena aku sangat menyayanginya dan kami menjadi keluarga yang saling menyayangi satu sama lain. Aku sadar, selama ini aku memang nakal dan tidak pernah menyadari kesalahan.

Aku buktikan bahwa aku bukan Nisa yang nakal seperti yang dulu. Aku adalah Annisa Madyiah. Aku bukan wanita yang tidak punya perasaan.

~SEKIAN~ 
Share:

15 April 2016

Pesiar ke Bukit Sion (2)

Sebelumnya saya pernah berbagi kisah saya ketika saya berpesiar ke daerah Bukit Sion. Cerita ini adalah bagian kedua dari pesiaran saya bersama dengan anak murid saya menuju bukit Sion.

Well, setelah seharian kemarin kami menelusuri hutan dan berenang di sungai bukit sion, saya kembali berjanji dengan anak murid saya untuk menuju ke atas lagi. Janji adalah janji, jadi harus ditepati sesegera mungkin. Tapi, kunjungan saya hari ini, bukan untuk berenang melainkan melakukan pendekatan lebih dalam lagi dengan orang tua yang rumahnya berada di balik bukit ini. Saya pergi lebih awal dari hari sebelumnya, karena sudah mengetahui medan menuju ke arah sana.

Terpenting buat saya adalah fisik dan mental. meskipun bukitnya memang tidak seberapa tapi karena sudah lama tidak menggerakkan kaki hingga naik ke atas sana, saya merasa memerlukan mental dan fisik tersebut. Dari awalnya ragu, saya pun yakin untuk bisa melanjutkan perjalanan hingga ke rumah mereka yang berada di balik bukit tersebut.

Bersama-sama dengan anak-anak bukit sion saya justru bukan melindungi mereka, tapi merekalah yang melindungi saya selama dalam perjalanan. "Ibu, saya bawakan tasnya sini Ibu!" Banyak anak yang mau membawakan barang bawaan saya. Tapi, apalah daya saya bahwa saya memang harus bisa berkata "tidak terima kasih!" karena ini juga salah satu pembelajaran untuk diri saya ini.

Dalam perjalanan saya yang kedua ini, cukup berkesan karena ada beberapa anggota tambahan yang juga ikut naik ke atas bukit sion. Meskipun tidak sama seperti hari sebelumnya, tapi kebahagiaan ini masih sama terasa. Entahlan, anak-anak inilah yang justru membuat saya semakin sadar, bahwa saya memang benar-benar ke sini hanya untuk mereka.

Sesampainya di sana, saya singgah di rumah mama Wati. Sebelumnya Mamak Daniel sudah memberi tahu saya bahwa, saya disarankan untuk mampir kembali ke rumah mereka. Namun, mereka sedang melakukan kerja bakti di gereja, sehingga saya pun tidak sempat berjumpa dengan mereka. Saya duduk sebentar sembari menghela nafas karena melakukan perjalanan yang cukup melelahkan :D

Mamak Wati, sudah menyiapkan makanan untuk kami. Kami hanya tinggal menikmatinya saja, saya bercakap dengan mamak Wati sembari menunggu anak-anak yang sedang berenang di sungai. Ya! mereka ke Bukit Sion tujuannya untuk berenang, berkali-kali mereka mengajak saya, namun saya tidak membawa perlengkapan berenang. Jadi, saya hanya duduk-duduk santai saja di rumah mamak Wati ini sembari menikmati singkong hasil kebun, bercakap dengan mereka, dan menikmati nasi hangat berlauk daun pepaya, bunga pepaya dan jantung pisang yang menurut saya sangat jarang didapat olahan ini di kota :D

Meskipun hanya sayur seperti itu, rasanya nikmaaaatt sekali. Padahal awalnya, saya tidak suka karna daun pepaya dan bunga pepaya pahitnya luar biasa. Tapi, dengan olahan tangan dari mamak Wati sayuran yang dikenal juga bisa sebagai obat ini pun rasanya sedaap dan ingin tambah dan tambah lagi :))

Sekitar pukul 4 sore anak-anak pun pulang dari berenang, dan saya sudah disiapkan oleh mereka buah tangan hasil kebun mereka. Ada singkong, daun singkong, daun pakis dan cabe. Rasanya semacam dari pasar. Banyak buah tangan yang didapat dari mereka.

Lagi-lagi, mereka yang slalu melindungi saya selama dalam perjalanan.

Ketika turunan, kami pun menunggu tumpangan pick up. Kata anak-anak "Biasanya Bu! ada pick up punya pak cik Bahar, terus kami numpang di mobilnya" Dari atas bukit kami sudah melihat mobil pick up berjalan menuju arah tikungan. Lalu, kami pun segera mengejarnya supaya kami mendapatkan tumpangan menuju ke rumah kami.

Saya kebetulan diantar oleh Wati, Weka, Ambala, Ata, dan Nurul. Mereka berjalan ke arah yang sama seperti saya, dan Wati pun juga akan menginap di rumah kami.

Kami sempat duduk di atas pondok yang berkayu dan sudah tidak terpakai lagi sembari menunggu mobil pick up lewat. Kami menunggu sekitar 15 menitan, Apalagi memang mereka lelah, maklum saja  setiap anak membawa oleh-olehnya untuk dibagikan ke orang tua mereka di rumah.

Alhamdulillah...

Tadaaaaa... petualangan kami pun masih tetap menyenangkan hari ini, Terima kasih my kiddos 

--9 Januari 2016--







Lourdes, 14 April 2016
-vidahasan- 
Share:

15 March 2016

Cerita Sore di Sekolah

Sore ini, saya kebagian untuk mengajar bimbel Bahasa Indonesia di kelas VI. Maklum saja, mereka akan melaksanakan Ujian Nasional sebentar lagi di bulan ke 5. Saya janjian dengan anak-anak akan masuk pukul 2 siang, supaya mereka yang rumahnya jauh bisa pulang lebih awal. Rencana saya, setelah selesai mengajar les saya dapat membantu guru yang lain untuk mengajarkan ekskul musik juga. Namun rupanya, ekskul musik pun menjadi tersendat karena banyak anak yang rumahnya jauh justru ingin pulang juga.

Maklum, mereka yang tinggal di tanah Malaysia selalu bersama-sama jalan kaki menuju rumahnya. Langkah mereka hampir tidak mau terpisahkan dengan langkah-langkah yang lain. Akhirnya, guru ekskul (sebut saja pak Don) pun memberikan ijin ke mereka untuk pulang terlebih dahulu. Sembari menikmati duduk dipojokan sekolah, saya masih mengalunkan recorder saya dengan nada tak jelas musik apa. Masih ada beberapa anak yang bermain tenis, batu serimban, bermain pianika, dan sepak takraw.

Melihat mereka, saya seperti mengingat masa kecil saya. Guru-guru saya dulu tidak pernah sedekat ini dengan siswanya. Mereka hanya pergi mengajar, lalu pulang kembali. Tidak semua guru, hanya beberapa saja yang seperti itu. Saya hanya berfikir "Semoga, meskipun saya menjadi pengajar saya pun ingin turut ikut merasakan apa yang sedang mereka rasakan". Itulah kalimat yang sampai sekarang selalu saya pegang.

Tetiba dua orang anak, Johan dan Iron namanya, mereka mendatangi saya.

"Ibu, galau kah, Bu? Kenapa duduk diam-diam saja?" Tanya si Iron
"Ah, siapa juga yang galau? Mana ada saya galau? Saya hanya sedang memikirkan akan membuat permainan apa buat kelas kamu besok pagi!" Jawab saya.
"Oh iya, Ibu kan masuk di kelas kami besok. Bahasa Inggris kan Bu?" Katanya lagi dengan wajah antara senang dan susah.

Saya hanya senyum sembari menganggukkannya. Kata Iron, anak-anak di kelasnya tidak pandai bahasa Inggris. Menurut mereka, bahasa Inggris sangat sulit untuk dipahami dan dipelajari. Iron adalah siswa kelas V di sekolah saya. Menurutnya lagi, bahasa Indonesia aja susah, apalagi bahasa Inggris. Nah lho!

"Lho? Bukannya Ibu ngajar di kelas kami kah?" Sahut Johan.
"Mana ada besok saya ngajar di kelas IV?" Tanya saya.
"Saya besok ngajar di kelas V, bahasa Inggris. Kelas IV yang ngajar bahasa Inggris Pak Don!" Ucap saya.
"Aih? Masuklah juga kelas kami, Ibu..." Kata Johan.
"Mana ada? Saya hanya mengajar SBK saja di kelas kalian." Jawan saya.

Raut mukanya menampakkan agak sedih karena saya hanya mengajar 1 kali dalam seminggu di kelasnya. Kami pun bercerita-cerita tentang hal-hal yang tidak terduga. Dari mulai sekolah, tempat asal mereka, kegiatan persami, sampai bagaimana beraninya mereka untuk berburu hewan di hutan.

Daerah asal orang tua Iron adalah Lembata yang berada diprovinsi NTT, sedangkan Johan lahir di Maumere. Mereka berdua memang keturunan orang Timor yang tinggal di Lourdes. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, bahwa Lourdes dihuni oleh rata-rata penduduk dari Timor. Saya suka sekali mendengar cerita-cerita seru yang mereka alami. Iya, karena saya memang tidak pernah merasakan hal-hal yang mereka lakukan.

Mereka bercerita tentang bagaimana ketika mereka jalan di hutan lalu berjumpa dengan buaya, payau (rusa), berburu planduk, bahkan sampai mereka berani untuk melawan ular yang sering berleliaran di kebun-kebun milik nenek atau orang tua mereka. Bahkan si Johan bercerita, dia pernah sampai digigit ular kobra ketika ingin mengambil biawak di lubang biawak. 

"Iya, Bu! Beeuuuhh... Tanganku sampai nggak bisa bergerak Bu!" Katanya.
"Lalu, apa yang kamu lakukan setelah itu?" Tanya saya
"Aku isap saja racunnya." Jawabnya.

Saya berusaha untuk bisa menjadi pendengar yang baik untuk mereka. Mendengarkan kisah-kisah mereka. 

"Ibu, pergilah nanti pas paskah! Banyak orang bah nanti di atas sana!" Ajak Johan dan Iron.
"Tenang, saya tidak kemana-mana karena saya memang ingin pergi melihat kegiatan kalian di sana." Kata saya.
"Nanti lah, Bu. Kita selfie selfie di atas sana." Sahut Johan.
"Pastilah" Jawab saya.

Tak terasa, sudah hampir mendekati malam. Rupanya kami bercengkerama terlalu asik, hingga kami pun lupa akan waktu. Ya! Hal-hal seru dari mereka adalah hal-hal yang sangat menyenangkan. Berbagi pengalaman dengan mereka adalah hal yang membuat saya ingin lebih dekat lagi dengan mereka.

"Wah! Mungkin tanggal 1-10 saya ijin ke Nunukan." Kata saya lagi.
"Beuh, Bu! Lamanya itu!" Ucap Iron.
"Saya mau pindah ngajar di Nunukan." Ucap saya.

Dua bocah ini kaget dengan ucapan saya, padahal intinya saya hanya ingin bercanda sama mereka.

"Aih! Kalau gitu, kami ndak pergi sudahlah ke sekolah. Kalau Ibu Pida pindah!" Kata Iron.
"Aku mau pindah sekolah di Nunukan kalau gitu. Mau cari sekolah yang ada Ibunya" Sahut Johan.
"Apalah kalian ini!" Tersenyum memandangi anak-anak ini.

Buat saya, entahlah dekat dengan mereka benar-benar memberi energi ketika saya sedang jenuh. Toh buat apa saya sampai sini kalau bukan hanya untuk mereka? Inilah yang saya cita-citakan. Setidaknya, dapat mendengarkan keluh kesah mereka berarti sudah membuat mereka percaya bahwa saya ada memang untuk mereka. 

Minimal menjadi seorang pendengar yang baik buat mereka, sudah menjadikan mereka bahwasanya cerita-cerita mereka memang patut untuk didengarkan, bukan untuk didiamkan saja. Ah! Kalian ini membuat sore saya hari ini lebih berarti dari apapun. Memang kalimat "Bermain bersama anak-anak bukanlah hal yang sia-sia" nyatanya saya justru mendapatkan hal yang luar biasa dari mereka. :)

Wahai Pengajar Muda! Mekarlah dimanapun kamu berada! 

-vidahasan-


Share:

13 March 2016

Nunukers (part 3)

Masih ingat sekali dalam benak saya, ketika 2 bulan yang lalu saya ditempatkan di desa dimana saya ditempatkan. Berpisah dengan teman-teman 1 kabupaten yang letaknya cukup (sangat) jauh membuat saya harus mampu berdikari sendiri.

Eh... Rupanya memang sudah 2 purnama kami lalui di desa masing-masing. Waktu bergulir sangatlah cepat sekali saya rasa. Hal yang kita lakukan dengan senang hati, sekecil apapun itu memang sangatlah menyenangkan.

#Flashback 23 Desember 2015

Kami ber10 berkemas-kemas untuk bersiap menuju ke desa penempatan kami masing-masing. Sudah diputuskan, bahwa kami (saya dan mubin) duo Sebatik akan berangkat sendiri tanpa didampingi oleh kak Haiva, sedangkan teman-teman yang satu arah ke wilayah sebuku akan didampingi oleh kak Haiva dan pak Bunardi. Awalnya yang mereka membully saya, karena saya menangis akan diantar oleh mereka saya pun menunjukkan bahwa memang seperti inilah inginnya saya, daripada saya harus diantar oleh mereka ber8 sampai Sebatik. Itu akan membuat saya lebih sedih lagi, karena merasa kurang adil :p

Akhirnya kami berduo Sebatik, hanya diantarkan hingga pelabuhan speed yang akan kami naiki. Awalnya, saya sudah berhubungan dengan kepala sekolah saya, bahwa saya dan Mubin akan berangkat menuju Sebatik. Kepsek saya menjelaskan, saya lebih baik turun di Pelabuhan Bambangan karena lebih dekat menuju lokasi. Namun, alhasil ketika saya dan Mubin sudah mendapatkan tiket, kami terkejut karena kami akan diturunkan di Pelabuhan Mantikas. Entahlah dalam bayangan kami, letaknya itu sejauh apa saya tidak ada bayangan sama sekali. 

Setelah berlabuh kurang lebih 30 menit lamanya, saya dan Mubin pun tiba di pelabuhan Mantikas. Sebelumnya, di tengah perjalanan laut, saya mengabari kepala sekolah saya bahwa saya salah turun pelabuhan. Alhasil, kepala sekolah saya, pak Mohammad berputar arah menuju pelabuhan dimana saya dan Mubin diturunkan. Sekitar 1 jam lebih lamanya saya menunggu jemputan datang. Berulang kali, bertanya "Pak Mohammad, sudah dimana?" Jawabannya pun tetap sama, sebentar lagi sampai. Iya, menunggu dengan ketidakpastian akan tiba jam berapa :D yang jelas saya dan Mubin sudah mulai gelisah :D

Akhirnya setelah lama menunggu penantian ini, saya dan Mubin pun menuju ke desa penempatan kami berdua. Perjalanannya sangat luar biasa sekali, karena rupanya jarak pelabuhan Mantika sampai desa kami berdua sangatlah jauh. Butuh waktu hampir 2 jam lamanya di perjalanan. Luar biasa.

Kami singgah sebentar di desa Maspul, yaitu desa dimana sekolah mubin, SDN 002 Sebatik Tengah berada. Kami mampir dan berkenalan terlebih dahulu dengan para guru di SDN 002. Here we are! Ready for the adventure!
Setelah memastikan Mubin "diamankan", kami masih melanjutkan perjalanan kembali menuju desa penempatan saya.

Rupanya desa saya paling atas, dan benar-benar jauh dari peradaban kota :D oh iya, yang paling nggak disangka-sangka. Guru-guru di SD saya adalah orang Timor, dan anak-anak beragama Katholik. Buat saya, ini adalah hal menyenangkan, entah itu karena benar-benar merasa excited dengan keadaan sekitarnya seperti apa atau memang dari dulu saya tertarik untuk bisa mengenal orang Timor lebih jauh lagi :D yang jelas, saya bersyukur sekali ditempatkan di desa ini.

Sampai tiba di rumah saya langsung benar-benar excited, karena saya tinggal di rumah panggung yang sedari dulu memang ingin sekali saya rasakan. "Waaahh rumah panggung!" Saya langsung berkenalan dengan Mamak "baru" saya dan bercengkerama dengan mereka lebih dalam lagi.

Saya mempunyai adik angkat 4 orang, 3 perempuan dan 1 laki-laki. 

Paling besar kelas 3 SMP, yang nomor 2 kelas 2 SMP,  nomor 3 laki-laki dan tidak sekolah, yang terakhir kelas 3 SMP.

Adik angkat saya laki-laki memang berbeda dari yang lainnya. Makanya, dia tidak sekolah. Hal ini mengingatkan saya, ketika saya dulu bekerja sebagai Freiwillig di WHH. Rasanya, apa yang saya lakukan kemarin, rupanya saya alami juga di negeri saya. Pembelajaran saya kemarin merawat orang-orang berkebutuhan khusus, rupanya jawabannya adalah ini.

Yeah! Everything is about life. Ready for your life? Yes, I'm ready! :)

Salam dari pulau Sebatik!

-vidahasan-


Share:

Pesiar ke Bukit Sion (1)

SDN 005 Sebatik Tengah, salah satu sekolah yang letaknya di perbatasan dengan daerah tanah Malaysia. Mungkin hanya sekitar 6 kilometer saja jarak perjalanannya. Sudah 1 minggu sekolah berjalan, banyak kejadian yang tidak terduga, melihat potensi anak-anak di daerah perbatasan ini, rasanya saya siap untuk membantu mereka.

Daniel dan Petrus, siswa saya kelas 3 di SDN 005 adalah kakak beradik, iya, mereka berada di kelas yang sama. Bukan berarti Daniel (si kakak) dianggap bodoh di kelas, justru Daniel salah satu siswa yang memiliki potensi yang besar dan memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Pun tidak hanya Daniel, semua anak di kelas mempunyai semangat yang tinggi.

Daniel dan Petrus mengajak saya untuk berpesiar, sebutan orang-orang di Lourdes yang maksudnya adalah berkunjung ke rumah-rumah. Mereka mengajak saya ke rumahnya dan pergi berenang di sungai di dekat rumah mereka yang berada di balik bukit Sion. "Ibu, kami mau pergi berenang, Bu. Ikut yuk Bu" ajak Daniel. Saya pun hanya mengiyakan, janjian sama mereka untuk berjalan bersama menuju ke sana. Tak disangka, rupanya perjalanan ini sungguhlah luar biasa, karena saya harus menaiki bukit yang berada di balik sekolah. 

Awalnya, nafas ini mulai terengah-engah karena bukit ini naiknya curam dan tinggi. Demi anak-anak saya harus bisa sampai ke atas sana. Mereka lah yang membuat saya  naik turun bukit ini, karena kalau bukan tanpa mereka untuk apa aku berada di sini? Akhirnya selama perjalanan 1,5 jam kami pun tiba di perumahan di balik bukit Sion ini. Masih saja menjadi perkampungan orang Timor di kampung ini, hanya ada 1 keluarga saja yang muslim. Kalau dengar cerita dari mereka, mereka hijrah dari kampung Lourdes menuju bukit Sion karena mereka lebih nyaman berkebun di balik bukit ini. Tanahnya masih belum ditanami apa-apa, dan masih banyak tanah yang kosong.

Saya mampir ke salah satu rumah yang berkeluarga muslim. Sebelumnya saya pun masuk sebentar menuju ke rumah Daniel dan Petrus "Ibu, kasihannya. Panas-panas begini naik ke sini. Nanti setelah berenang mampir ya, Bu", kata Ibu Petrus. Saya berucap "iya" dan mengangguk.

Warga di sana sangatlah ramah, toleransinya pun masih sangat kental, tidak ada perbedaan yang signifikan. Mungkin karena kampung ini hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga saja, sehingga rasa toleransinya masih kental.

Kami pun menuju ke sungai yang melewati hutan kayu. Setelah sampai di sungai, wihiiww... Sungainya keren, tapi banyak berjejer kayu yang berjatuhan akibat pohon yang ditebang. Hal itu tidak berpengaruh sama sekali dengan anak-anak, karena mereka tetap bahagia berenang. Ketika kami berenang, hujan pun turun dan seraya saya basah akhirnya saya pun ikut masuk berenang di sungai tersebut bersama anak-anak.

Setelah itu, saya pulang dengan pakaian basah sembari menikmati kopi hangat ditemani dengan singkong goreng hasil kebun sendiri. Maklum saja, kata mereka di sana makanan khas pokoknya adalah singkong. Untuk membeli beras, ikan, dan sayuran pun sangat jauh. Alhasil masyarakat di balik bukit ini lebih nyaman dengan menanam sayuran atau umbi-umbian sendiri.

Saya pulang tepat ketika setelah maghrib, masih ditemani oleh anak-anak Lourdes yang ikut naik menuju bukit Sion. Oleh-olehnya adalah tomat yang bergelimang hasil dari kebun kakek Gusti. Hal yang sampai sekarang tidak dilupakan adalah karena perjalanan ini sudah lengkap dengan saya jatuh karena terpeleset. Maklum, saat itu hujan besar turun, sehingga membuat jalan (tanahnya) menjadi lecek dan licin. Apalagi perjalanan kami, hanya ditemani dengan senter dan lampu sechen (lampu yang baterainya diisi menggunakan tenaga surya).

But, I was soooo happy, if you know, this adventure make me feel, that I really live in my country, Indonesia. You have to try this adventure! 

Salam dari anak-anak Sebatik! 

-vidahasan-
SDN 005 Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan
Share:

24 February 2016

2 Purnama

Salam Pengajar Muda XI,

Sudah 2 purnama rupanya kita lalui hari-hari di daerah penempatan kita masing-masing. Waktu memang sangatlah cepat berlalu ketika kita melewatinya dengan hal-hal yang menyenangkan. Masih ada 10 purnama lagi yang akan kita lalui, saya yakin waktu akan terus bergulir hingga nanti di 12 purnama terakhir. Aamiin..

Pun, demikian dengan saya. Berada di daerah baru yang merupakan tahun pertama adalah sebuah tantangan yang cukup menantang buat diri saya. 2 purnama berada si kampung yang bernama Lourdes, yang merupakan kampung 2 suku dan budaya dari Timor dan Bugis adalah hal yang bagi saya pembelajaran sangat luar biasa.

Banyak hal-hal baru yang belum pernah saya lakukan, saya lakukan di kampung ini. Rasa toleransi umat beragama yang kental membuat saya bangga bahwa inilah Indonesia, inilah Bhineka Tunggal Ika. Melihat kembali dilayar televisi yang memberitakan hal-hal yang kadangkala negatif membuat saya tidak percaya lagi dengan adanya siaran televisi. Hidup dalam keterbatasan listrik dan air, membuat diri ini merasa patut bersyukur bahwa rupanya hidup saya dahulu begitu menyenangkan.

Setiap pagi,  mandi di sumber mata air yang jaraknya 50 meter dari rumah dan harus naik turun bukit. Listrik yang dulunya melimpah, di kampung ini saya belajar bahwa hidup bukan melulu soal gadget dan sosial media, yang rupanya dapat mengalihkan pandangan kita dari sekeliling kita. Saya harus mengisi baterai di tempat orang yang mempunyai aliran listrik atau jenset untuk menghidupkan listrik.

Hal yang tidak akan pernah terlupakan adalah, ketika pertama kalinya mandi di sumber mata air yang berada di tengah kebun pak cik Ramli, saya sudah disambut dengan ular air yang mana ular ini bergerak sangat cepat. Alhasil kami bertiga yang semuanya wanita hanya bisa teriak dan bingung harus berbuat seperti apa. Kami pasrah sejadinya dengan sambutan ular tersebut.

Masalah Sinyal? "Bersyukurlah, Bu" kata dorang, "Dulu, kami harus mencari sinyal di atas bukit sana. Bahkan sering sekali terjadi roaming karena sinyal tidak kuat. Sekarang sudah ada tower di atas sana, jadi tidak perlu sudah naik-naik lagi", lanjutnya. Sejak adanya tower dari salah satu provider, masyarakat di kampung ini pun sudah tidak perlu lagi mencari-cari sinyal di bukit, dan mudah untuk berkomunikasi dengan keluarganya di kampung halaman mereka masing-masing. Hanya listrik saja memang yang masih belum masuk ke kampung. 

Bukankah kita diajarkan untuk tetap bahagia meskipun dalam keterbatasan? Bahagia itu sederhana, sesederhana kita melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk orang lain meskipun itu hal yang sangat kecil.

-vidahasan-
Kampung Lourdes, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan.

Share: