15 March 2016

Cerita Sore di Sekolah

Sore ini, saya kebagian untuk mengajar bimbel Bahasa Indonesia di kelas VI. Maklum saja, mereka akan melaksanakan Ujian Nasional sebentar lagi di bulan ke 5. Saya janjian dengan anak-anak akan masuk pukul 2 siang, supaya mereka yang rumahnya jauh bisa pulang lebih awal. Rencana saya, setelah selesai mengajar les saya dapat membantu guru yang lain untuk mengajarkan ekskul musik juga. Namun rupanya, ekskul musik pun menjadi tersendat karena banyak anak yang rumahnya jauh justru ingin pulang juga.

Maklum, mereka yang tinggal di tanah Malaysia selalu bersama-sama jalan kaki menuju rumahnya. Langkah mereka hampir tidak mau terpisahkan dengan langkah-langkah yang lain. Akhirnya, guru ekskul (sebut saja pak Don) pun memberikan ijin ke mereka untuk pulang terlebih dahulu. Sembari menikmati duduk dipojokan sekolah, saya masih mengalunkan recorder saya dengan nada tak jelas musik apa. Masih ada beberapa anak yang bermain tenis, batu serimban, bermain pianika, dan sepak takraw.

Melihat mereka, saya seperti mengingat masa kecil saya. Guru-guru saya dulu tidak pernah sedekat ini dengan siswanya. Mereka hanya pergi mengajar, lalu pulang kembali. Tidak semua guru, hanya beberapa saja yang seperti itu. Saya hanya berfikir "Semoga, meskipun saya menjadi pengajar saya pun ingin turut ikut merasakan apa yang sedang mereka rasakan". Itulah kalimat yang sampai sekarang selalu saya pegang.

Tetiba dua orang anak, Johan dan Iron namanya, mereka mendatangi saya.

"Ibu, galau kah, Bu? Kenapa duduk diam-diam saja?" Tanya si Iron
"Ah, siapa juga yang galau? Mana ada saya galau? Saya hanya sedang memikirkan akan membuat permainan apa buat kelas kamu besok pagi!" Jawab saya.
"Oh iya, Ibu kan masuk di kelas kami besok. Bahasa Inggris kan Bu?" Katanya lagi dengan wajah antara senang dan susah.

Saya hanya senyum sembari menganggukkannya. Kata Iron, anak-anak di kelasnya tidak pandai bahasa Inggris. Menurut mereka, bahasa Inggris sangat sulit untuk dipahami dan dipelajari. Iron adalah siswa kelas V di sekolah saya. Menurutnya lagi, bahasa Indonesia aja susah, apalagi bahasa Inggris. Nah lho!

"Lho? Bukannya Ibu ngajar di kelas kami kah?" Sahut Johan.
"Mana ada besok saya ngajar di kelas IV?" Tanya saya.
"Saya besok ngajar di kelas V, bahasa Inggris. Kelas IV yang ngajar bahasa Inggris Pak Don!" Ucap saya.
"Aih? Masuklah juga kelas kami, Ibu..." Kata Johan.
"Mana ada? Saya hanya mengajar SBK saja di kelas kalian." Jawan saya.

Raut mukanya menampakkan agak sedih karena saya hanya mengajar 1 kali dalam seminggu di kelasnya. Kami pun bercerita-cerita tentang hal-hal yang tidak terduga. Dari mulai sekolah, tempat asal mereka, kegiatan persami, sampai bagaimana beraninya mereka untuk berburu hewan di hutan.

Daerah asal orang tua Iron adalah Lembata yang berada diprovinsi NTT, sedangkan Johan lahir di Maumere. Mereka berdua memang keturunan orang Timor yang tinggal di Lourdes. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, bahwa Lourdes dihuni oleh rata-rata penduduk dari Timor. Saya suka sekali mendengar cerita-cerita seru yang mereka alami. Iya, karena saya memang tidak pernah merasakan hal-hal yang mereka lakukan.

Mereka bercerita tentang bagaimana ketika mereka jalan di hutan lalu berjumpa dengan buaya, payau (rusa), berburu planduk, bahkan sampai mereka berani untuk melawan ular yang sering berleliaran di kebun-kebun milik nenek atau orang tua mereka. Bahkan si Johan bercerita, dia pernah sampai digigit ular kobra ketika ingin mengambil biawak di lubang biawak. 

"Iya, Bu! Beeuuuhh... Tanganku sampai nggak bisa bergerak Bu!" Katanya.
"Lalu, apa yang kamu lakukan setelah itu?" Tanya saya
"Aku isap saja racunnya." Jawabnya.

Saya berusaha untuk bisa menjadi pendengar yang baik untuk mereka. Mendengarkan kisah-kisah mereka. 

"Ibu, pergilah nanti pas paskah! Banyak orang bah nanti di atas sana!" Ajak Johan dan Iron.
"Tenang, saya tidak kemana-mana karena saya memang ingin pergi melihat kegiatan kalian di sana." Kata saya.
"Nanti lah, Bu. Kita selfie selfie di atas sana." Sahut Johan.
"Pastilah" Jawab saya.

Tak terasa, sudah hampir mendekati malam. Rupanya kami bercengkerama terlalu asik, hingga kami pun lupa akan waktu. Ya! Hal-hal seru dari mereka adalah hal-hal yang sangat menyenangkan. Berbagi pengalaman dengan mereka adalah hal yang membuat saya ingin lebih dekat lagi dengan mereka.

"Wah! Mungkin tanggal 1-10 saya ijin ke Nunukan." Kata saya lagi.
"Beuh, Bu! Lamanya itu!" Ucap Iron.
"Saya mau pindah ngajar di Nunukan." Ucap saya.

Dua bocah ini kaget dengan ucapan saya, padahal intinya saya hanya ingin bercanda sama mereka.

"Aih! Kalau gitu, kami ndak pergi sudahlah ke sekolah. Kalau Ibu Pida pindah!" Kata Iron.
"Aku mau pindah sekolah di Nunukan kalau gitu. Mau cari sekolah yang ada Ibunya" Sahut Johan.
"Apalah kalian ini!" Tersenyum memandangi anak-anak ini.

Buat saya, entahlah dekat dengan mereka benar-benar memberi energi ketika saya sedang jenuh. Toh buat apa saya sampai sini kalau bukan hanya untuk mereka? Inilah yang saya cita-citakan. Setidaknya, dapat mendengarkan keluh kesah mereka berarti sudah membuat mereka percaya bahwa saya ada memang untuk mereka. 

Minimal menjadi seorang pendengar yang baik buat mereka, sudah menjadikan mereka bahwasanya cerita-cerita mereka memang patut untuk didengarkan, bukan untuk didiamkan saja. Ah! Kalian ini membuat sore saya hari ini lebih berarti dari apapun. Memang kalimat "Bermain bersama anak-anak bukanlah hal yang sia-sia" nyatanya saya justru mendapatkan hal yang luar biasa dari mereka. :)

Wahai Pengajar Muda! Mekarlah dimanapun kamu berada! 

-vidahasan-


Share:

13 March 2016

Nunukers (part 3)

Masih ingat sekali dalam benak saya, ketika 2 bulan yang lalu saya ditempatkan di desa dimana saya ditempatkan. Berpisah dengan teman-teman 1 kabupaten yang letaknya cukup (sangat) jauh membuat saya harus mampu berdikari sendiri.

Eh... Rupanya memang sudah 2 purnama kami lalui di desa masing-masing. Waktu bergulir sangatlah cepat sekali saya rasa. Hal yang kita lakukan dengan senang hati, sekecil apapun itu memang sangatlah menyenangkan.

#Flashback 23 Desember 2015

Kami ber10 berkemas-kemas untuk bersiap menuju ke desa penempatan kami masing-masing. Sudah diputuskan, bahwa kami (saya dan mubin) duo Sebatik akan berangkat sendiri tanpa didampingi oleh kak Haiva, sedangkan teman-teman yang satu arah ke wilayah sebuku akan didampingi oleh kak Haiva dan pak Bunardi. Awalnya yang mereka membully saya, karena saya menangis akan diantar oleh mereka saya pun menunjukkan bahwa memang seperti inilah inginnya saya, daripada saya harus diantar oleh mereka ber8 sampai Sebatik. Itu akan membuat saya lebih sedih lagi, karena merasa kurang adil :p

Akhirnya kami berduo Sebatik, hanya diantarkan hingga pelabuhan speed yang akan kami naiki. Awalnya, saya sudah berhubungan dengan kepala sekolah saya, bahwa saya dan Mubin akan berangkat menuju Sebatik. Kepsek saya menjelaskan, saya lebih baik turun di Pelabuhan Bambangan karena lebih dekat menuju lokasi. Namun, alhasil ketika saya dan Mubin sudah mendapatkan tiket, kami terkejut karena kami akan diturunkan di Pelabuhan Mantikas. Entahlah dalam bayangan kami, letaknya itu sejauh apa saya tidak ada bayangan sama sekali. 

Setelah berlabuh kurang lebih 30 menit lamanya, saya dan Mubin pun tiba di pelabuhan Mantikas. Sebelumnya, di tengah perjalanan laut, saya mengabari kepala sekolah saya bahwa saya salah turun pelabuhan. Alhasil, kepala sekolah saya, pak Mohammad berputar arah menuju pelabuhan dimana saya dan Mubin diturunkan. Sekitar 1 jam lebih lamanya saya menunggu jemputan datang. Berulang kali, bertanya "Pak Mohammad, sudah dimana?" Jawabannya pun tetap sama, sebentar lagi sampai. Iya, menunggu dengan ketidakpastian akan tiba jam berapa :D yang jelas saya dan Mubin sudah mulai gelisah :D

Akhirnya setelah lama menunggu penantian ini, saya dan Mubin pun menuju ke desa penempatan kami berdua. Perjalanannya sangat luar biasa sekali, karena rupanya jarak pelabuhan Mantika sampai desa kami berdua sangatlah jauh. Butuh waktu hampir 2 jam lamanya di perjalanan. Luar biasa.

Kami singgah sebentar di desa Maspul, yaitu desa dimana sekolah mubin, SDN 002 Sebatik Tengah berada. Kami mampir dan berkenalan terlebih dahulu dengan para guru di SDN 002. Here we are! Ready for the adventure!
Setelah memastikan Mubin "diamankan", kami masih melanjutkan perjalanan kembali menuju desa penempatan saya.

Rupanya desa saya paling atas, dan benar-benar jauh dari peradaban kota :D oh iya, yang paling nggak disangka-sangka. Guru-guru di SD saya adalah orang Timor, dan anak-anak beragama Katholik. Buat saya, ini adalah hal menyenangkan, entah itu karena benar-benar merasa excited dengan keadaan sekitarnya seperti apa atau memang dari dulu saya tertarik untuk bisa mengenal orang Timor lebih jauh lagi :D yang jelas, saya bersyukur sekali ditempatkan di desa ini.

Sampai tiba di rumah saya langsung benar-benar excited, karena saya tinggal di rumah panggung yang sedari dulu memang ingin sekali saya rasakan. "Waaahh rumah panggung!" Saya langsung berkenalan dengan Mamak "baru" saya dan bercengkerama dengan mereka lebih dalam lagi.

Saya mempunyai adik angkat 4 orang, 3 perempuan dan 1 laki-laki. 

Paling besar kelas 3 SMP, yang nomor 2 kelas 2 SMP,  nomor 3 laki-laki dan tidak sekolah, yang terakhir kelas 3 SMP.

Adik angkat saya laki-laki memang berbeda dari yang lainnya. Makanya, dia tidak sekolah. Hal ini mengingatkan saya, ketika saya dulu bekerja sebagai Freiwillig di WHH. Rasanya, apa yang saya lakukan kemarin, rupanya saya alami juga di negeri saya. Pembelajaran saya kemarin merawat orang-orang berkebutuhan khusus, rupanya jawabannya adalah ini.

Yeah! Everything is about life. Ready for your life? Yes, I'm ready! :)

Salam dari pulau Sebatik!

-vidahasan-


Share:

Pesiar ke Bukit Sion (1)

SDN 005 Sebatik Tengah, salah satu sekolah yang letaknya di perbatasan dengan daerah tanah Malaysia. Mungkin hanya sekitar 6 kilometer saja jarak perjalanannya. Sudah 1 minggu sekolah berjalan, banyak kejadian yang tidak terduga, melihat potensi anak-anak di daerah perbatasan ini, rasanya saya siap untuk membantu mereka.

Daniel dan Petrus, siswa saya kelas 3 di SDN 005 adalah kakak beradik, iya, mereka berada di kelas yang sama. Bukan berarti Daniel (si kakak) dianggap bodoh di kelas, justru Daniel salah satu siswa yang memiliki potensi yang besar dan memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Pun tidak hanya Daniel, semua anak di kelas mempunyai semangat yang tinggi.

Daniel dan Petrus mengajak saya untuk berpesiar, sebutan orang-orang di Lourdes yang maksudnya adalah berkunjung ke rumah-rumah. Mereka mengajak saya ke rumahnya dan pergi berenang di sungai di dekat rumah mereka yang berada di balik bukit Sion. "Ibu, kami mau pergi berenang, Bu. Ikut yuk Bu" ajak Daniel. Saya pun hanya mengiyakan, janjian sama mereka untuk berjalan bersama menuju ke sana. Tak disangka, rupanya perjalanan ini sungguhlah luar biasa, karena saya harus menaiki bukit yang berada di balik sekolah. 

Awalnya, nafas ini mulai terengah-engah karena bukit ini naiknya curam dan tinggi. Demi anak-anak saya harus bisa sampai ke atas sana. Mereka lah yang membuat saya  naik turun bukit ini, karena kalau bukan tanpa mereka untuk apa aku berada di sini? Akhirnya selama perjalanan 1,5 jam kami pun tiba di perumahan di balik bukit Sion ini. Masih saja menjadi perkampungan orang Timor di kampung ini, hanya ada 1 keluarga saja yang muslim. Kalau dengar cerita dari mereka, mereka hijrah dari kampung Lourdes menuju bukit Sion karena mereka lebih nyaman berkebun di balik bukit ini. Tanahnya masih belum ditanami apa-apa, dan masih banyak tanah yang kosong.

Saya mampir ke salah satu rumah yang berkeluarga muslim. Sebelumnya saya pun masuk sebentar menuju ke rumah Daniel dan Petrus "Ibu, kasihannya. Panas-panas begini naik ke sini. Nanti setelah berenang mampir ya, Bu", kata Ibu Petrus. Saya berucap "iya" dan mengangguk.

Warga di sana sangatlah ramah, toleransinya pun masih sangat kental, tidak ada perbedaan yang signifikan. Mungkin karena kampung ini hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga saja, sehingga rasa toleransinya masih kental.

Kami pun menuju ke sungai yang melewati hutan kayu. Setelah sampai di sungai, wihiiww... Sungainya keren, tapi banyak berjejer kayu yang berjatuhan akibat pohon yang ditebang. Hal itu tidak berpengaruh sama sekali dengan anak-anak, karena mereka tetap bahagia berenang. Ketika kami berenang, hujan pun turun dan seraya saya basah akhirnya saya pun ikut masuk berenang di sungai tersebut bersama anak-anak.

Setelah itu, saya pulang dengan pakaian basah sembari menikmati kopi hangat ditemani dengan singkong goreng hasil kebun sendiri. Maklum saja, kata mereka di sana makanan khas pokoknya adalah singkong. Untuk membeli beras, ikan, dan sayuran pun sangat jauh. Alhasil masyarakat di balik bukit ini lebih nyaman dengan menanam sayuran atau umbi-umbian sendiri.

Saya pulang tepat ketika setelah maghrib, masih ditemani oleh anak-anak Lourdes yang ikut naik menuju bukit Sion. Oleh-olehnya adalah tomat yang bergelimang hasil dari kebun kakek Gusti. Hal yang sampai sekarang tidak dilupakan adalah karena perjalanan ini sudah lengkap dengan saya jatuh karena terpeleset. Maklum, saat itu hujan besar turun, sehingga membuat jalan (tanahnya) menjadi lecek dan licin. Apalagi perjalanan kami, hanya ditemani dengan senter dan lampu sechen (lampu yang baterainya diisi menggunakan tenaga surya).

But, I was soooo happy, if you know, this adventure make me feel, that I really live in my country, Indonesia. You have to try this adventure! 

Salam dari anak-anak Sebatik! 

-vidahasan-
SDN 005 Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan
Share: