8 December 2020

Pendidikan Di Era Pandemi

Halo Teman-teman,

Tulisan ini seharusnya aku buat tepat di hari pendidikan nasional pada tanggal 2 Mei, sesuai dengan tema yang tentang hari Pendidikan Nasional. Hmm... Tapi, karena tulisa ini memang sudah sangat lamaaa sekali mengendap di draft blogku, jadi harus segera dieksekusi supaya nggak numpuk hutang menulisnya. Tulisan ini aku buat karena aku memiliki keresahan. Tentu saja keresahan yang aku rasakan rasanya menjadi pengajar online, meskipun sekarang aku sudah tidak lagi mengajar di lembaga formal. Aku salut pada mereka yang masih bertahan dengan kondisi yang saat ini bisa dibilang bukan kondisi yang seperti biasanya. Teman-teman guru merasakan sekali efek yang terjadi selama mengajar daring ini. Aku bisa merasakan hal tersebut, meski aku sudah tidak mengajar lagi sekarang ini.

Well, backgroundku memang pendidikan. Tapi, bukan berarti aku lepas dari pendidikan kok. Aku masih cukup fokus pada dunia pendidikan meskipun sekarang ini bukan masuk ke lembaga formal seperti sekolah. Saat ini, aku hanya menjadi seorang pelajar yang masih harus melihat sekeliling dan masih haus akan ilmu. Di bidang yang sekarang aku geluti ini, masih ada banyak hal terutama dalam bidang pendidikan yang harus aku pelajari. So guys, pendidikan itu tidak cukup hanya di sekolah, tapi bagaimana pendidikan itu harus juga bisa dilakukan di luar lingkungan sekolah, bagaimana semua orang ikut turut serta untuk memajukannya tanpa ada paksaan apapun atau tekanan dari berbagai pihak.

Ada kalanya, pendidikan itu adalah hal yang sepatutnya dibuat nyaman senyaman mungkin. Tidak perlu dibuat seperti ketekanan batin. Kalau ngikutin kata hati mah maunya begitu yaa.. hihi tapi kalau ngikutin mata banyak orang atau bahkan pandangan banyak orang pasti akan berbeda bentuknya. Nah, kalau ngobrolin tentang pandemie dan pendidikan nggak akan ada selesai-selesainya. Kenapa? karena oh karena adanya pandemie ini jadi mengurangi aktivitas bermain pelajar di luar atau bahkan dapat mengurangi eksplorasi anak-anak. Nah terus gimana dong?

Yuk mari kita refleksikan ke diri sendiri terlebih dahulu. 

Menurut teman-teman ketika teman-teman WFH apa yang teman-teman sendiri rasakan? Mungkin kalau di awal akan merasa cukup susah terutama untuk berinteraksi dengan orang lain. Nah, terus gimana? Yaa berarti tandanya pintar-pintarnya kita untuk bisa terus mengeksplorasi diri supaya ada skill yang berkembang dalam diri kita. Di masa pandemi seperti sekarang ini, sudah banyak kelas dibuka untuk pengembangan diri terutama secara online. Bahkan nggak cuma-cuma pelatihan ini diberikan secara gratis untuk pesertanya masing-masing. Seru bukaan? Atau bisa saja bayar tapi dengan harga sesuai dengan kantong kita, dan kita pun bahkan tidak perlu mengeluarkan ongkos transportasi menuju lokasi pelatihan tersebut. Hanya bermodal internet/ kuota lalu laptop dan aplikasi via zoom atau google meeting, atau bisa juga menggunakan adobe video. Semudah itu...

Well, semudah itu memang kalau dilakukan di regional yang memang besar yaa.. Lalu apa kabar dengan yang ada di daerah? Bisa nggak kira-kira belajar untuk mengembangkan diri tersebut? Apalagi dengan bermodal kuota/ internet yang memang nggak kecil tapi besar. Kalau dari pemerintah sudah mendapatkan kuota secara gratis, sekarang pertanyaannya adalah apa kabar sinyal internetnya? Apakah sudah memadai daerah tersebut? Kalau belum, lalu apa yang harus dilakukan?

Yuk mareee kita fikirkan bersama-sama terkait hal ini. 

Untuk hal ini, aku yakin guru-guru di daerah punya caranya masing-masing. Kalau dengar cerita mereka di daerah pun sangat aku salutin sekali dan mengapresiasi apa yang mereka lakukan. Seringkali mereka bercerita bahwa mereka kesulitan untuk mencari sinyal internet, namun kreativitas mereka tidak terbatas. Bahkan, ada beberapa guru yang dengan senang hati mendatangi rumah anak didiknya untuk mengajarinya di rumah masing-masing. Mereka membentuk kelompok kecil, lalu membahas materi yang memang perlu disampaikan. Kereen yaa...

Terlepas dari segala fasilitas yang hanya ada seberapa di daerah mereka, aku yakin seyakin-yakinnya bahwa mereka tetap masih terus bertahan untuk mendidik anak-anak mereka. Kebayang sih bagaimana rasanya mengajar dengan berpindah-pindah rumah apalagi dengan medan jalan yang cukup lumayan uwow sekali.. Bisa saja kan, Bapak/ Ibu guru berjalan melewati bukit yang beberapa rumah siswa saja ada di balik bukit, atau mereka harus melewati kebun sawit dan hutan-hutan kayu yang rumah beberapa siswa ada di sana. 

Belum lagi sekarang ini musim hujan yang harus siap-siap untuk melewati tanah becek yang nggak ada ojek atau bahkan mobil pick up yang melewati jalanan tersebut. Cukup bisa dibayangkan bukan? Bahkan pernah suatu kali, ketika aku menjadi relawan di salah satu daerah di Kalimantan Utara aku menyaksikan langsung semangat juang Bapak/Ibu guru di sana. Terutama saat musim hujan yang benar-benar menjadi tantangan buat mereka. Bahkan, anak-anak harus menuju ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 4 kilometer dari rumah menuju sekolahnya. Mereka pun sudah terbiasa berjalan tanpa menggunakan alas kaki atau bahkan hanya menggunakan topi plastik saja untuk dijadikan penutup kepalanya.

Jika kita di kota masih enak bisa menggunakan mobil di kala hujan turun atau bahkan bisa menggunakan jas hujan, kalau di sana cukup susah dan menjadi tantangan tersendiri untuk Bapak/Ibu guru yang berada di sana. Apalagi sekarang ini jatuh masa pandemi yang bahkan kita nggak pernah tau kapan akan segera berakhir. Udah hampir setahun ternyata yaaa pandemi ini berlangsung....

Semoga diberikan slalu kesehatan Bapak/Ibu guru yang ada di daerah dan segera berakhir pandemi ini.. Supaya anak-anak bisa bermain dengan leluasa bertemu dengan teman-temannya, pun demikian dengan Bapak/Ibu guru bisa mengeksplor kemampuan mengajarnya kembali..

Finally... I finished my writing about education and pandemic. This article came out of my mind.. So, if you have another opinion just let me know and  I would really open minded about what you think...

-vidahasan-


Kalau dipikir kita itu penuh dengan kesyukuran
Namun, seringkali kita lupa untuk bersyukur


Danil, Ita dan Nur
berjalan menuju rumahnya
yang berada di balik bukit sejauh 4 kilometer



 
Share: