9 July 2015

Gang Goyang--

Cerpen ini sebenernya udah lama banget aku buat. Pas buka-buka email, kok jadi tertarik lagi buat aku pajang di blog. Iya, sekalipun masih kurang greget cerpennya, setidaknya aku pernah membuat cerpen. Hal yang aku cintai sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, menulis. Iya, dengan menulis pun aku bisa mengekspresikan apa yang aku rasakan dan dapat mengemukakannya... Happy writing and reading :)

Pemalang, April 2013

***

Sudah beberapa tahun rupanya. Lama sekali aku tidak mengunjungi tempat ini. Banyak yang berubah dari tempat ini. Tempat di mana aku belajar banyak hal dari orang-orang biasa yang sungguh luar biasa. Tempat ini, tempat yang menjadikanku dari yang bukan apa-apan menjadi apa-apa. Aku menyusuri jalan sempit yang mengarah ke arah gang goyang. Dulu gang ini ramai, banyak orang yang berlalu lalang melewati gang ini. Jika orang-orang pergi ke pasar, anak-anak bersekolah, para orang tua bekerja pun harus melalui gang ini. Gang ini seperti gang utama untuk mengarah ke tujuan bepergian masyarakat setempat. 

Sejak dibangunnya jalan raya 10 tahun yang lalu, dan berdekatan dengan tepi sungai Brengas, masyarakat pun lebih menyukai lewat jalan raya daripada gang goyang ini. Apalagi sekarang perekonomian masyarakat sekitar gang goyang ini sudah mulai meningkat, sehingga mereka tidak perlu repot pergi berjalan kaki atau menunggu mobil angkot untuk mengantarnya ke pusat kota. 

“Mba Darla. Mba Darla kan? Putrinya Pak Samsul?” Panggil seorang Ibu, yang berpapasan denganku. Aku tersentak, karena wajah si Ibu tidak begitu asing bagiku. Aku sedikit lupa, karena saat itu aku masih berumur 3 tahun, dan setelah umur 6 tahun aku pun pindah rumah karena Ayah mendapat tugas di luar kota, jauh dari kota tempat tinggal asalku. 
“Iya Ibu, saya Darla.” Sapaku, mengajaknya bersalaman. 
“Ya Allah, Mba Darla sudah semakin besar. Cantik lagi. Yuk mampir ke tempat Ibu. Masih ingat Ibu tidak?” Katanya. Wajahnya tenang, ramah dan santun. Sepertinya aku merasa dekat dengannya, seperti si Ibu selalu tahu dengan keadaanku dengan baik. 
"Ibu bisa saja.” Ucapku malu-malu, meskipun aku masih agak bingung dengan ajakannya. Tapi entah kenapa aku pun mau untuk mengikuti langkah dan gerak cepatnya. Si Ibu menggandeng lenganku, sambil bercakap-cakap. 
"Ya Allah, mba Darla. Ibu kangen sekali sama mba Darla. Dulu Ibu yang selalu merawat mba Darla, pas mba Darla masih kecil. Terakhir Ibu mengurus mba Darla ya waktu mba Darla umur 6 tahun itu.
”Ibu itu masih saja bercerita dengan semangatnya. Menceritakan tentangku ketika aku kecil. “Nah, ini lho Nak, rumah Ibu. Maaf ya, rumahnya tidak sebesar seperti rumah mba Darla.” Katanya dengan berwajah musam seperti menyesal mengajakku ke sini. 
“Ah tidak apa-apa Bu. Saya sudah sering kok tinggal di rumah seperti ini. Saya justru senang, karena dengan begitu saya bisa belajar banyak tentang kehidupan.” Ucapku, sedikit menenangkan si Ibu. 

Si Ibu tiba-tiba menangis dan memelukku erat. Rasa-rasanya ada hal yang ingin beliau sampaikan kepadaku. Rasa-rasanya aku begitu dekat dengan beliau. Rasa-rasanya aku sungguh tidak punya malu untuk tetap bersama beliau. Dan rasa-rasanya beliau seperti Ibu kandungku. Aku dibesarkan di keluarga yang cukup berada. Ayahku adalah seorang tentara yang memang tugasnya saat itu selalu berpindah-pindah, sedangkan Ibuku? Aku tidak tahu dengan keberadaannya. Ayah tidak pernah bercerita tentang Ibu kandungku. Memberikanku fotonya saja Ayah tidak pernah, seperti Ayah menutupi keberadaan Ibuku. Tapi Ayah pernah berkata, “Ibumu adalah orang yang baik Nak. Yang jelas jika nanti suatu saat kamu berjumpa dengan Ibumu, jangan pernah sekalipun kamumembencinya. Karna dia berjuang hidup demi kamu.” Begitulah kiranya pesan Ayah.  

Jadi, tidak ada salahnya jika aku merasa bahwa Ibu yang sejak tadi memelukku adalah Ibu kandungku. 
“Sini Nak, sini. Duduk di sini. Sebentar ya.” Si Ibu, menyuruhku masuk dan duduk di bangku yang kursinya, seharusnya sudah tidak digunakan. 
"Pak. Pak... ada Mba Darla.” Teriaknya dari dalam. 

Si Ibu, keluar dengan menggandeng tangan seorang laki-laki sebaya Ayahku keluar. Dia seperti tertegun dan terkejut melihatku berada di hadapannya. Aku merasakan ada hal yang aneh terhadapnya. Ada rasa rindu yang begitu mendalam dari diriku. Seperti rasanya aku ingin memeluk laki-laki sebaya Ayah ini. 

“Ya Allah. Mba Darlaaaa...” Panggilnya yang tiba-tiba beliau meneteskan air matanya untukku. Beliau berlari dan memelukku. 
Si Bapak, menangis tersedu-sedu sambil memelukku hingga akhirnya pun aku tak dapat menahan air mata yang sedari tadi aku bendung. Aku bingung, kenapa mereka sampai sehisteris seperti ini bertemu denganku. Ada apa sebenarnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Hati ini, otak ini, bertanya-tanya dan aku pun merasa kalang kabut dengan semua ini. Aku tidak mengerti. Ada yang disembunyikan oleh Ayah untukku.

***

Share: