31 July 2013

31 July 2013

Ini bulan Juli terakhir di tahun 2013. Hari ini tepat tanggal 31 Juli, aku hanya bisa berharap. Memasuki awal agustus, memasuki bulanku, semoga segalanya semakin berkah. Semoga segala urusannya selalu lancar. Allah memang yang merencanakan semuanya, namun aku hanya bisa terus dan terus berdoa agar segalanya diberi kemudahan.

Setidaknya memasuki usia yang tidak lagi muda, 23 tahun, aku harus lebih bisa menjaga sikap. Mengeluh boleh saja, namun kalau keseringan pun tidak akan ada selesainya. Toh pada hakikatnya, buat apa mengeluh kalopun hasilnya masih kaya gitu-gitu aja. Semoga slalu diberi pemikiran yang positif buat menjalani hari-hari, buat menjalani kehidupan. Entah, aku tidak tahu kapan Yang Kuasa akan "memulangkan" aku kembali.

Umur 23 tahun adalah sebuah pencapain, sebuah harapan dan sebuah cita-cita. Semoga slalu diberi kesehatan.

Allah, ijinkan aku untuk bisa membahagiakan kedua orang tuaku, ijinkan aku untuk memberikan senyum bangga untuk mereka. Hanya itu. Jagalah mereka slalu, agar aku slalu bersemangat untuk belajar menikmati hidup. Banyak orang yang mengeluh tentang kehidupannya, karna mereka merasa tidak punya ketidakadilan untuk hidup di dunia. Namun, aku sadar bersyukur adalah salah satu cara untuk menikmati kehidupan. Susah, senang, sedih, sakit, sehat meskipun begitu harus selalu tetap bersyukur. Itulah jalan menuju kebahagiaan. :')

*waiting for 4th August. 
Share:

20 July 2013

Halo "SESAMA"

Entah apa yang harus dibicarakan kembali. Terkadang aku pun bingung harus memulainya darimana. Namun, aku teringat satu status fb dari kawanku. Dia mengatakan:
"miris sekali sy mendengar kata2 ini "eh tp dia islam lho/alhamdulillah pemain bola xxx ini islam/dst" LANTAS? MENGAPA kalo beragama Islam? Ibarat sprti melihat dadu dari satu sisi, bahasa udik dari kasus ini adalah NARROW MINDED. Apakah tidak terbaca dengan seksama, di bangsa sendiri saja sesama saudara seagama masih saling tikam bahkan bacok-bacokkan? Di sekitar anda, siapa saja yg pernah membuat hati anda terluka? mereka masih seiman, bukan? -ya, agama TIDAK menentukan karakter..what's in your heart-lah yang menunjukkan siapa anda sebenarnya.." *Milkha maaf ini aku copas statusnya*

Statusnya membuat hatiku bergetar. Aku takut menjatuhkan seseorang melalui perasaannya. Aku takut melukai seseorang lewat ucapanku, aku takut, meskipun aku beragama islam, tapi hanya "agama" saja sebagai status. Semua hal-hal dan pertanyaan-pertanyaan tersebut telah mencengkerama di dalam otakku. Beribu kata tersusun rapi dan menjadikan beberapa kalimat seperti itu. Adakah hal yang sama kita lakukan demikian? Adakah kita telah menyakiti hati orang lain atau bahkan teman dekat kita sendiri?

Mungkin ada banyak hal yang belum aku pahami, bagaimana aku harus bersikap, bagaimana aku harus bercakap, dan bagaimana aku harus menata diri agar aku bisa menjadi pribadi yang baik. Tidak muna memang, karena manusia di dunia ini ingin sekali yang namanya dihargai oleh orang lain. Tapi, apakah kita sudah menghargai orang lain pula, terutama yang ada di sekitar kita? Merekalah yang terkadang meninggikan derajat kita di mata orang yang lain juga. Bukan diri kita sendiri yang meninggikan derajat, jika itu terjadi, mungkin bisa disebut dengan kesombongan.

Andai manusia tahu, betapa bahagianya sebuah perdamaian, betapa bahagianya membantu orang lain yang sedang membutuhkan, betapa bahagianya bisa menyenangkan orang lain. Hal itu adalah yang membuat diri kita merasa, bahwa kita hidup di dunia ini untuk membantu mereka, untuk membantu sesama. Namun, memang hati lah yang menunjukkan kuasanya itu semua. Bisakah dia menerima orang lain itu, bisakah dia menerima apa yang dibenci orang lain, bisakah dia menerima apa yang dibutuhkan orang lain? Could it be? Wallahua'lam. Jawabannya ada pada hati di dalam diri kita masing-masing.

Mungkin terkadang hanya masalah sepele bagi kita, tapi itu adalah hal yang besar bagi orang lain. Tak dapatkah memberikan sedikit kebahagiaan saja? Yang dekat pun belum tentu bisa memberi kebahagiaan, tapi justru yang jauhlah yang terkadang memberi kebahagiaan itu. Yang dekat belum tentu bisa menerima diri kita, justru yang jauhlah yang dapat menerima diri kita apa adanya dengan lapang dada. Mungkin secara kasar, yang dekat itu hanyalah sebagai "perantara" saja. Datang jika ada keperluan.

Bukankah Rasul mengajarkan agar kita selalu mencintai kekerabatan, persaudaraan, perdamaian. Mengajarkan pula tolong-menolong dalam sesama? Apapun yang dibutuhkan oleh orang lain, jika kita mampu membantunya, semua hal pun akan terjadi. Kun Fayakun. Allah memberi pertolongannya melalui tangan-tangannya. Tangan-tangan manusia yang siap untuk membantu sesamanya. Begitulah... 

Mungkin aku juga bukan manusia sempurna. Ini hanya tulisan untuk bercermin diriku saja. Dan hal yang aku rasakan adalah ketika membantu teman yang mempunyai kesulitan, aku merasakan hal yang luar biasa senang. Beban berasa menjadi ringan, meskipun itu bukan masalahku tapi sebisa mungkin pun aku membantunya. Minimal dengan memberi motivasi, minimal dengan memberikan informasi yang menurutnya penting. 

Begitulah dunia, yang hanya menjadi tempat sementaranya hidup. :)
Share:

13 July 2013

Ini Cobaan :)

Who says? Bulan Ramadhan kaya gini setan-setan dibelenggu, hawa nafsu disave, dan segala amarah tidak boleh ditonjolkan. Bukan. Bukan karena saya marah, tapi saya hanya ingin mengutarakan yang memang harus saya katakan. 

Well, senin kemarin orang-orang satu kampung mungkin pada geger dengan tragedi yang tidak mengenakan. Pada ribut gegara pakde dan bapak saya beradu mulut. Bukan beradu mulut yang seperti lainnya tidak mau kalah satu sama lain. Bukan seperti itu. Tapi beradu mulut karena memang ada yang salah di sana. Bapak saya ngamuk, gegara saka tiang bangunan yang seharusnya sekarang masih berdiri kokoh di sana, yang seharusnya untuk di bangun atap untuk keperluan masjid dipotong oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Dia, pakde saya sendiri. Saya bingung harus bilang, apakah pakde saya ini jahat? Atau pakde saya serakah? Atau bagaimana? Wallahua'lam.

Jadi begini, saat ini mungkin keluarga saya sedang mengalami banyak cobaan. Saya ingin mengeluhkan kepada orang lain pun sepertinya sudah tidak ada guna lagi. Kepada siapa harus mengeluh? Iya kepada Gusti Allah, cuma Dia yang satu-satunya bisa memberi isyarat untuk umatnya. Apalagi dengan datangnya masalah yang seperti ini, yang lebih dominan dengan mempertahankan harga diri masing-masing. Dalam hal ini entah yang benar mana, yang salah juga mana, yang jelas sama-sama gak tau aturan mainnya. Main nyerobot kayak orang yang antri di pom bensin aja.

Keluarga saya sedang diuji kesabarannya sama Gusti Allah. Dinikmatin aja punya saudara, punya pakde yang sebegitu bencinya sama bapak saya. Iya dinikmatin aja seperti ini. Dinikmatin juga, karena banyak orang yang menggunjing tentang bapak saya, yang mereka pun tidak tahu persoalan yang sebenernya. Hanya asal nyeletuk, hanya asal ngejudge, gak dikroscek dahulu kebenarannya. Mungkin uda termakan, dan terprovokatori oleh "beliau" yang ingin disegani oleh masyarakat sini.

Biarkan saja terus seperti ini. Saya hanya ingin berkicau di blog saya, dan jikalau ada yang baca silahkan baca dan beranggapan bahwa saya mengumbar-umbar aib seseorang. Saya tulis di blog karena saya pun tidak tahu harus bercengkerama kepada siapa, lagi untuk mengutarakan ini semua. Gusti Allah insyaAllah selalu membantu saya kok. Dalam sholat, saya slalu berdoa semoga "beliau" diberi kelapangan hati, semoga "beliau" diberikan kesabaran, semoga "beliau" jembar kuburannya nantinya, semoga "beliau" mendapatkan hidayah dan dapat berkata dengan selayaknya. Semoga ya Allah semoga. :)

Biarkanlah anjing menggonggong kafilah pun tetap berlalu. Biar saja mereka menikmati gunjingan-gunjingan mereka, dan Allah pasti akan membalas semuanya. Wallahua'lam. Lapangkan segalanya Gusti... aamiinn..
Share:

10 July 2013

Tetap Bersyukur (2)

Tetap Besyukur bagian ke dua, bukan tentang puasa lagi. Ini adalah cerita perjalanan hidup ketika aku masih kecil. Masih berada di tengah-tengah keluarga yang sangat amat sederhana dan merasakan betapa benar-benar sulitnya hidup. Bersyukurlah, karena itu aku belajar dari pengalaman hidup yang sedemikan tidak mudah.

Biasanya, di waktu luang ayah ibu ku memang selalu menyempatkan diri untuk mengajak anak-anaknya untuk berkumpul. Sekedar untuk bercerita, mengeluarkan keluh kesah, istilah lainnya itu curhat. Sepemahamanku, ayah memang tidak pernah bercengkerama dengan tetangga sekitar tentang dirinya. Bukan karena beliau sombong, bukan. Tapi, karena beliau merasa waktu luang ini adalah untuk keluarga dan untuk apa bercerita, berkoar-koar dengan tetangga yang mungkin ujungnya bakal menyebar ke tak tau arah dan pada akhirnya menjadi fitnah. Itu hanya membuang-buang waktu. Demikianlah ayahku selalu berpendapat. Maka demikian, ayah jarang sekali bercengkerama dengan tetangga sekitar. Waktu luang yang digunakan hanya untuk keluarga. Menurutnya, dengan jatah waktu libur 2 hari ketika weekend (sabtu dan minggu), ini adalah pemanfaatan sebaik-baiknya agar bisa berkumpul meskipun keluargaku memang jarang sekali liburan ke luar rumah, tapi seperti ini saja sudah aku anggap liburan.

Well, di perkumpulan keluargaku sering bercerita banyak hal. Aku bersyukur sekali, karena aku merasakan pahitnya kehidupan ketika aku masih umur sekitar 1-10 tahun. Aku gak begitu ingat apa yang terjadi ketika umur 1-3 tahun, tapi setelah itu aku selalu mengingat-ingat hal yang menurutku itu menjadi sebuah kenangan yang amat sangat berkesan.

So, kecilku dulu aku slalu diajarkan untuk hidup sederhana oleh ayah ibuku. Kalian tahu? Aku selalu belajar tentang lingkungan. Bermain bersama temen-temen sebaya yang tidak mengenal status. Aku juga bersyukur meskipun aku bersekolah dasar di sekolah yang (belum) favorit ketika jamanku, aku dapat mengenal berbagai macam tipe orang. Tidak melulu anak-anak yang berada di level atas, tapi aku mengenal anak-anak yang polos, yang masih belum tahu apa-apa. Jadi, kalau main ya main aja, gak perlu dia anak orang kaya, anak orang miskin, anak dari siapa, semua sama rata, karena kita teman. Gak ada yang namanya pilih-pilih teman. Semua sama.

Aku juga ingat, saat itu rumah simbah (nenek), gak punya WC. Jadi kalo mau buang air besar sangat susah. Lebih tepatnya WC dijadiin satu sama buat mandi. Kalian tahu, bentuk WC kamar mandi rumah simbah kaya gimana? Bentuknya cuma lingkaran sebesar bola golf. Jadi cuma bisa tongkrong trus berusaha buat ngepasin, dan itu susaaaaahh hahahahha. Aneh bukan? Mungkin yang membaca merasa jijik, silahkan saja. Tapi begitulah fakta alamnya. Tidak mengada-ada. Bahkan, kalau kamar mandi pas ada orang di dalamnya, terpaksa aku harus berlari menuju kali deket sama lapangan yang buat ngejemur kacang tanah. Itu sih uda biasa banget. Sering banget melakukan hal seperti itu. Jadi, aku bisa merasakan bagaimana hidup dengan kesederhanaan seperti ini karena #BahagiaItuSederhana.

Anak-anak sekarang mah uang 200ribu aja dianggapnya kecil, gak banyak. Menurutku itu banyak, bisa buat beli sepati, makan berkali-kali kalo pas di Jogja. Jadi, sekarang jatah duit di jaman sekarang berapa per harinya? Uang segitu aja masih dibilang sedikit. -___- Dulu, pas jaman SD aku gak pernah jajan, selalu dibawain dari rumah, terus dimakan di sekolah. Jajannya masih ada harga 25 rupiah dan yang paling mahal 500 rupiah. Dulu naik angkot aja masih bisa bayar 200 rupiah dari sekolah sampai rumah, padahal jarak rumahku sampai sekolah itu sekitar kurang lebih 3km. Hahah jamannya masih belum jaman moneter. Apa-apa masih dengan harga segitu :))

Pas SMP aja uang saku 5 ribu rupiah itu pun kalo pake angkot. Kalo pake sepeda dikurangin jatahnya 2500-3ribu rupiah. Ohhh... hahaha tapi tetep bersyukur, karena hidup itu nikmat ketika kita menjalaninya dengan senang hati kan #BahagiaItuSederhana. :D Jamanku kecil juga masih suka mainnya di sawah, masih suka mainnya di lapangan, main gobak sodor, lompat tali, petak umpet, sampai kejar-kejaran (tempatku namanya rok-rokan) sama anak-anak satu kampung. Makanya, hidup sederhana seperti ini sungguh nikmat. Aku bahagia, meskipun terkadang kalo pas main tiba-tiba ayah dateng ngejemput dengan mimik muka mata melotot, tangan diangkat keatas, atau bahkan melotot sambil meletakkan kepalan di kedua pinggangnya. Hahahaha itu bikin anak-anak yang lagi pada main kabur semua, terus udah deh, pada bubar mainnya. Itu gara-gara aku main di saat jam belajar, makanya beliau dateng sambil marah-marah demikian. :))

Sekarang, adekku yang paling kecil gak pernah dikerasin sama ayahku. Kalo nakal yauda didiemin aja, gak pernah kaya aku sama si mirza dulu. Bukannya membeda-bedakan tapi begitulah adanya. Dulu pas kalo aku sama mirza berantem, ayahku slalu melerai terus ujung-ujungnya yang gede yang disalahin terus habis itu yang gede yang dislentik sama dijewer -__- padahal waktu itu cuma main-main, cuma bercanda, dan akhirnya aku beranggapan kalau ayah gak sayang sama aku. Tapi ternyata beda, itu beda. Ayahku ngasih pembelajaran berharga banget biar aku bisa disiplin pas gedenya. Jadi, dulu aku, mirza dan ayah bikin perjanjian. Waktu itu kalo gak salah ingat umurku sekitar 9/ 10 tahun. Aku dan mereka membuat perjanjian, kalau gak sholat sekali bakal dijepret pake karet, dan berapa kali jepretannya itu tergantung dari jumlah rokaatnya. Misal nih, aku gak sholat shubuh, nah satu rokaat sholat shubuh aku dijepret 5 kali, berarti karena sholat shubuh totalnya 2 rokaat, maka aku kena 10 kali jepretan. Parah kaaann? Hahaha

Iya kalau sekarang sih, apa-apa lapor polisi gara-gara pasal penganiayaan anak -___- padahal dulu aku masih biasa dimarahin habis-habisan sama ayahku. Mau akunya ngamuk, nangis sekenceng-kencengnya, kalau aku salah ya salah gak bisa ditolerir. Itu salah kamu, jadi kamu harus mempertanggungjawabkan itu. Begitu juga si Mirza, sama seperti aku nasibnya. Hahah. Sekarang kalo ke Aghiel ayah cuma bisa diem, gak terlalu strength seperti dulu. Entahlah, mungkin karena ada kakaknya, trus anak paling terakhir jadi ya gitu :D

Well, begitulah kalo menurutku tentang hidup. Dia berproses bahkan butuh yang namanya proses. Ada pahit ada juga senengnya. Semuanya jadikan pengalaman yang berarti. Kata ayah, guru memukul murid pas jaman dulu gak ada masalah, ayem tentrem aja. Itu bisa dijadikan pembelajaran mental buat muridnya ketika benar-benar menghadapi kehidupan yang benar-benar keras. Bisa jadi kan, guru memukul muridnya karena gurunya melihat ke masa lalunya dia, terus dia tiru deh, terus akhirnya ya gitu. Kasarnya mereka balas dendam dengan apa yang dilakukan gurunya saat itu. hihih emang yah hidup oh hidup.

Then, jangan pernah merasa hidup kamu juga paling sempurna, karena kita punya kehidupan abadi di alam yang berbeda sana. Entah mau masuk surga atau neraka tapi itu adalah kehidupan abadi kita. Banyak hal juga yang terjadi dalam kehidupan kita, hidup bukan hanya untuk bersenang-senang di dunia saja, bersenang-senanglah untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Paham kan maksudnya? 

Semoga berkah, semoga bermanfaat.

Regards,
Vida Hasan
Share:

Tetap Bersyukur (1)

Semalam, sebelum aku memejamkan mataku dan melakukan pelayaran ke pulau kapuk, aku sedang berpikir ingin menulis sebuah kisah tentang aku ketika aku mendapatkan hal yang tidak mengenakan. Semoga aku masih bisa mengingat ini semua, ini berangkat dari beberapa anak yang selalu curhat kepadaku tentang studinya, tentang nilai-nilai yang didapat dan alhasil, cerita ini semoga bisa menjadi manfaat dan motivasi untuknya. :)

Dari dulu, sejak masih di bangku sekolah, aku bukan tergolong anak yang berada di atas rata-rata. Masih berada di rata-rata kok aku, tidak begitu pintar juga tidak begitu bodoh (menurutku). Masih berada di tengah-tengah antara yang pintar dan yang bodoh. Namun, kemungkinan bisa terjadi bahwa kadangkala aku bisa menjadi pintar, kadangkala aku pun bisa menjadi bodoh. Iya begitulah, naik turun, pasang surut motivasi belajarku dari dulu. Kadang untuk menjadi orang yang hebat itu susah, sangat susah, karena butuh banyak perjuangan dari nol hingga 100. Tapi tahukah, untuk mempertahankannya itu yang sulit. Ketika kita sudah berada di atas, terkadang banyak pasang surut yang terjadi, yang di awalnya 100, bisa saja turun menjadi 90, 80, 70 dan seterusnya. Begitulah hidup ku pikir..

Sama halnya seperti motivasi belajarku, sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar, aku pernah mendapatkan rangking itu pun sekali dan kelas 1 SD, setelah itu entah, menghilang tak beraturan. Kelas 2 SD pun malah pernah dapet nilai merah, beberapa pelajaran dengan angka 5 pun bertaburan di buku raporku. Aku biasa, bahkan sangat biasa. Tapi Ayah Ibu ku yang tidak biasa, karena mereka terus berkoar-koar. Sampai pada akhirnya, waktu itu aku masih ingat, jamanku masih dibilang cawu (catur wulan), aku mendapat nilai yang pas-pasan yang tetap masih sama tidak mendapatkan rangking. Walaupun begitu aku tetap naik ke kelas 3. Begitu pun seterusnya, buku raporku kadang tertulis angka yang seharusnya tidak berada di sana. Namun, ketika kelas 5 aku berjuang keras. Dan yang paling parah, aku merasa sudah berjuang keras, namun di rapor justru bertaburan angka 6 di sana. Hampir semua mata pelajaran bertaburan angka 6. Kenapaaa demikian? Ayahku marah-marah karena tidak terima, tapi aku sendiri sejujurnya agak kurang menerima, kenapa demikian? Ternyata guru kelasku yang memang agak kurang beres, jadi beliau memberiku nilai dengan angka 6 semua -____- alhasil tetap berlapang dadalah aku ketika itu.

Naik ke kelas 6, hmm kemampuan berpikirku semakin meningkat sepertinya. Ini berkat guru favoritku yang tak pernah lelah buat ngajarin aku. Alhasil, alhamdulillah di kelas 6 aku dapet rangking, meskipun bukan 5 besar, yang penting aku ikut 10 besar. :D Sama halnya seperti SMP dan SMA, tidak pernah menargetkan bahwa nilaiku harus tinggi yang penting pas-pasan dan bisa masuk ke sekolah favorit. Bersyukur sekaliiiiiiii aku masuk sekolah favorit. Ini keberuntungan, tanpa disengaja atau memang ini sudah takdirku seperti ini? Entahlah, yang penting aku bersyukur sekali sama Gusti Allah, sudah memberikan aku kenikmatan yang tiada tara seperti ini. :)

Masuk ke sekolah favorit itu impian semua orang lhoh. Mereka berbondong-bondong ingin sekali masuk ke sana, namun hanya yang beruntunglah yang bisa masuk ke dalam lingkungan ini. Bukan bermaksud sombong atau bagaimana, sampai sekarang aku pun selalu berfikir apakah ini karena ketekatan, keberanian dan keyakinan bahwa ketika kita berfikir kita bisa, kita pasti akan bisa melakukannya? Sepertinya kata ini sangat majur dan berfungsi buatku. Kata-kata ini selalu menancap di otakku bertahun-tahun "Mereka saja bisa, kenapa aku tidak? Aku juga bisa seperti mereka". Begitulah kiranya. Apapun itu, aku pasti bisa. :) Kalimat ini kunci dan sangat manjur buatku.

Aku selalu beranggapan bahwa, nilai rata-rata tidak masalah yang terpenting aku lulus di sekolah favorit dan aku mempunyai skill yang mungkin orang tidak punya. Kadang ketika aku merasa bahwa aku adalah anak yang tidak berguna, aku selalu beranggapan bahwa aku punya banyak kekurangan, aku tidak punya something yang seperti orang lain punya, aku merasa minder dengan kemampuanku, aku merasa bahwa aku berbeda dengan mereka. Namun ternyata, di balik ketidakmampuanku (mungkin) aku justru harus selalu berfikir positif dan mengatakan "kelemahanku adalah kelebihanku" mungkin demikian adanya. Keberanianku mengalahkan ketakutanku, kemampuanku mengalahkan putus asaku, dan kepercayaan diriku mengalahkan keminderanku. Mungkin demikian.

Waktu kuliah, aku merasa bahwa aku mampu, aku beranggapan bahwa orang lain berbeda denganku. Aku mulai sombong dengan kemampuanku. Aku jujur, ketika itu aku merasa menyepelekan kemampuan orang lain. Tapi, apa hasilnya? Justru orang lain lah yang lebih bisa dari kemampuanku. Aku jatuh, aku terpuruk, dan aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa sombong dan aku merasa tidak berguna. Akhirnya aku pun jatuh, tersungkur dan ya semua nilaiku pun anjlok di semester empat. Saat itu IPKku hanya 2.58. Tidak mencapai targetku. Bertabur nilai D dengan total empat SKS. Aku terpuruk.

Akhirnya, aku justru lebih bertekat kembali bahwa semester berikutnya aku harus bisa lebih baik dari semester ini. Aku hanya harus bisa memulai berfikir positif kembali, bagaimana caranya aku bisa meningkatkan motivasi belajarku lagi. Tidak apa-apa tidak cumlaude yang penting sesuai dengan target di atas 2.75. Begitulah kira-kira... Iya dan aku pun akhirnya mendapat sesuai harapan sampai lulus kemarin. Tidak mendapat cumlaude namun sesuai target yaitu di atas 2.75. Entah, aku kurang tahu, apakah demikian tergantung sama pengajar atau dengan kemampuanku sendiri. Aku sudah merasa bahwa aku mampu melakukannya, namun ternyata semua berkehendak lain. Entah yang salah dari kemampuanku atau dari pengajarnya Wallahua'alam. Hanya Gusti Allah Yang Maha Mengetahui.

Aku rasa, sekarang aku hanya ingin menunjukkan bahwa IPK yang kurang dari 3 tapi di atas 2.75 juga bisa terbang ke negeri orang. Terkadang, mereka hanya bisa mengagung-agungkan orang-orang yang punya IPK di atas rata-rata. Aku juga masih mau belajar seperti mereka, aku masih punya kemauan untuk berjuang kembali. Tidak salah kan? Saat itu, memang benar-benar keterpurukanku yang tidak akan pernah dilupakan. Namun, aku masih harus tetap bersyukur karena Allah selalu membantuku di saat seperti ini. Aku selalu bersyukur dengan semua ini. Selaluu..

Kehidupan duniawi itu tidak abadi. Ada yang di atas dan ada juga yang di bawah. Tidak selamanya manusia hidup di atas terus, karena suatu ketika mereka akan merasakan hidup di bawah. Hal yang selama ini kita lakukan harus tetap disyukuri, karena semua hal yang kita lakukan akan selalu ada hikmah. Dan sungguh hikmah itu indah. :)

Vida Hasan
Share:

Ramadhan di Perantauan

Marhaban yaa Ramadhan. Alhamdulillah, tahun ini bisa merasakan dan dipertemukan kembali dengan bulan suci yang penuh berkah ini. Semoga di tahun berikutnya bisa berjumpa, dan harus lebih baik lagi. Aamiin..
Ada hal yang berbeda di Ramadhan tahun ini. Ramadhan tahun ini, saya bisa berkumpul dengan keluarga, Ramadhan tahun ini saya full merasakan dari pertama sampai insyaAllah hari kemenangan di rumah. Alhamdulillah, masih punya kesempatan buat ber Ramadhan bersama keluarga tercinta. Ayah, Ibu, Aghiel, meskipun belum lengkap tanpa kehadiran Mirza di rumah, namun ini membawa warna tersendiri buat saya karena dapat berkumpul dengan mereka semua.

Tahun kemarin, saya harus ber Ramadhan di perantaun. Lebih tepatnya lima kali Ramadhan saya merasakan ber Ramadhan di tempat perantauan. Subhanalloh, banyak belajar dari hal-hal seperti ini. Ada suka begitu juga ada duka yang terjadi sebelum saya merasakan ber Ramadhan bersama Ayah Ibu di rumah. 

Ramadhan pertama saya jauh dari keluarga pada tahun 2008. Saat itu saya sedang menjadi mahasiswa baru di Universitas Negeri Yogyakarta. Saya senang, karena bisa melanjutkan sekolah di kampus yang cukup favorit ini, yang banyak orang ingin belajar di sana, namun mereka tidak seberuntung saya. Saya sangat beruntung karena saya bisa masuk untuk belajar di kampus ini. Waktu itu, karena harus mengikuti kegiatan kampus, saya harus berpuasa jauh untuk pertama kalinya tanpa ayah dan ibu. Awalnya sangat berat, karena sejak dulu sampai saya masuk ke sekolah menengah, ayah yang slalu membangunkan saya sahur. Saya bangun, sholat malam, lalu makanan sudah tersedia di atas meja, lalu saya hanya tinggal menyantap hidangan itu. Berbeda dengan di rumah, saya merasakan kesedihan yang mendalam. Tidak ada yang membangunkan sahur, tidak ada yang menyiapkan makanan, dan jarang berjamaah di masjid. Apa-apa saya harus melakukannya sendiri. Saya ingat, ketika pertama kalinya, saya sahur tanpa adanya teman, kesepian, kesendirian, saya makan sahur sambil menangis. Meskipun beberapa kali mba kos menyuruh saya untuk bersahur bersama-sama dengan yang lain, saya tetap berada di kamar. Waktu itu saya masih belum bisa beradaptasi, merasa mereka semua adalah orang-orang asing.

Ramadhan kedua saya jauh dari keluarga pada tahun 2009. Sebagai mahasiswa baru (1 tahun), saya masih belum terbiasa dengan keadaan ber Ramadhan jauh dari keluarga. Masih ingin merasakan ber Ramadhan bareng sama mereka. Selama satu tahun menjadi mahasiswa baru, setiap bulan saya selalu mencari jatah hari libur (tanggal merah) agar saya bisa pulang ke rumah. Masih merasa, belum terbiasa jauh dari ayah dan ibu. Masih harus banyak belajar dan masih butuh beradaptasi. Sebelum bulan Ramadhan, saat itu saya di rumah dan sedang sakit hingga berminggu-minggu. Padahal saya ingat betul, bahwa saya adalah panitia salah satu kegiatan di kampus. Waktu itu saya menjadi pemandu di Ospek fakultas dan ospek jurusan. Ini adalah tugas, saya sedang mengemban tugas. Saya masih memikirkan ego saya sendiri, kalau saya ingin berlibur di rumah. Akhirnya saya memberi kabar ke koordinator, bahwa bagaimana kalau saya dikeluarkan atau diganti saja dengan orang lain? Saya sudah tidak bertanggung jawab, kontribusi saya sangat kurang. Namun, koordinator saya malah mengatakan bahwa "kami butuh kamu. Kamu harus segera sembuh dan bergabung kembali bersama kami". Saat itu perasaan saya langsung tidak karuan, perasaan tidak enak, merasa bahwa saya tidak bertanggung jawab. Saya pun bangkit dan harus sembuh, sehingga saya dapat bergabung kembali bersama tim saya. Well, ketika itulah saya merasakan puasa pertama kalinya tanpa keluarga (lagi), saya merasakan puasa bersama teman-teman saya lagi. Namun bedanya dengan tahun pertama, tahun kedua ini saya sudah bisa beradaptasi dengan teman-teman satu kos dan teman kampus. Merasa bahwa kita semua saudara dan saling membutuhkan. Kebersamaan inilah yang saya inginkan meskipun saya jauh dari ayah ibu saya. Saya merasa bahwa saya tidak sendiri, bahwa saya tidak kesepian, bahwa saya memiliki saudara di tempat ini.

Ramadhan ketiga saya jauh dari keluarga pada tahun 2010. Pada tahun 2010 adalah masa saya menjadi seorang mahasiswa yang mengikuti banyak kegiatan. Saat itu ospek dilaksanakan ketika bulan Ramadhan. Alhasil, saya sebagai panitia pun mau tidak mau harus mengikuti kegiatan ini. Tahun ketiga saya mulai terbiasa merasakan ber Ramadhan hari pertama tanpa keluarga. Banyak kegiatan yang pada akhirnya saya lupa dengan segala hal, saya menikmati hidup ini. Namun, saya hanya beberapa hari berpuasa di perantauan, setelah kegiatan selesai memang sudah tekat saya untuk langsung kembali ke kampung halaman. Lebih tepatnya saya mudik lebih awal daripada teman-teman saya, sehingga saya dapat merasakan ber Ramadhan (hampir) sebulan penuh bersama dengan keluarga saya di rumah.

Ramadhan keempat saya jauh dari keluarga pada tahun 2011. Saya mengikuti kegiatan KKN PPL tahun ini. Tugas yang cukup berat sedang ada di depan mata saya. Jauh dari keluarga, jauh dari teman-teman kos, jauh dari teman dekat kampus. Namun, saya menikmatinya, karena saya memiliki sahabat baru dan seperti keluarga baru. Program dari kampus ini memang cukup menguras banyak tenaga, namun saya sangat senang menjalaninya. Saat itu awal puasa sampai H-10 sebelum lebaran saya mengikuti kegiatan di sekolah. Banyak hal yang dipelajari, banyak hikmah yang didapat. Sudah sangat mulai terbiasa melakukan sendiri, apa-apa sendiri dan hanya teman dekatlah yang bisa diandalkan. Kenangan berpuasa dengan "keluarga" baru ini tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya. Sampai sekarang pun saya masih inget, ketika sahur di kontrakan, ketika buka puasa di kontrakan, dan ketika tarawih di masjid belakang kontrakan. Itu semua masih teringat di memori saya. Kenangan ber Ramadhan yang luar biasa.

Ramadhan kelima saya jauh dari keluarga pada tahun 2012. Pertama puasa memang di rumah, tapi 2 hari kemudian saya harus berangkat kembali ke perantauan untuk menyelesaikan misi dan amanah saya yang belum dikerjakan. Tahun kemarin, adalah ramadhan yang sangat berat buat saya, karena saya harus mengerjakan tugas akhir skripsi saya. Gara-gara mogok 3 bulan tidak mengerjakan skripsi, akhirnya saya tekatkan lagi bahwa tahun ini saya harus selesai, saya harus segera ujian, dan semester ini adalah semester terakhir saya di UNY. Akhirnya tekat saya bulat, saya bertemu dengan dosen pembimbing, minta pencerahan, setelah mendapat pencerahan saya kerjakan, setelah saya kerjakan dikumpulkan, setelah itu menunggu dan lalu revisi kembali dengan judul baru (lagi). Berat rasanya, karena begitu terus setiap minggunya. Namun karena tekat saya sudah bulat, meskipun seberat apapun harus tetap saya jalani karena saya sudah janji pada diri saya dan terutama ayah dan ibu. Saya justru tidak menyangka bahwa ramadhan tahun 2012 adalah ramadhan terakhir saya di kota perantauan, di kota yang penuh banyak kenangan ini. Berkesannya adalah saya sudah bukan mahasiswa aktif lagi di kampus, sehingga saya punya banyak waktu luang di kampus. Salah satu hal yang berkesan adalah saya dan teman-teman saya membuka lapak di kampung ramadhan jogokaryan. Waktu itu kami berjualan bakso ikan dan lumpia seafood. Sebelumnya memang saya dan teman-teman saya ini sudah merencanakan ingin membuka lapak ketikat bulan ramadhan. Alhasil, begitulah yang kami buka, sisa dari hasil jualan ikan Bibi sama Memet, kami buat bakso ikan dan lumpia seafood, lalu dijual di kampung ramadhan Jogokaryan. Tidak begitu banyak pembeli, namun promosi terus dilakukan sama Nani. Mungkin, karena kami datang sangat telat. Penjual yang lain buka lapak dari jam 3 sore, saya dan teman-teman saya sampai di TKP jam setengah 5 sore. Haahahah ternyata jualan tidak semudah yang dibayangkan, apalagi makanan. Alhasil, jualan kami masih sangat banyak dan kami memutuskan untuk membagikannya ke orang jalanan, seadanya yang kami temui. Luar biasaaaaa...

Iyaaaa saya jadi rindu ber Ramadhan di perantauan akhirnya. Padahal pertamanya saya mewek, pengen pulang gara-gara jauh dari ayah ibu. Tapi ternyata sekarang malah merasakan keseruan dan kenangan yang tidak dilupakan bisa merasakan Ramadhan di tanah orang. Mudah-mudahan tahun depan bisa dipertemukan kembali dengan Ramadhan, dan kemungkinan saya pun akan merasakan (lagi) ber Ramadhan di negeri orang. :)

Yang terpenting adalah dimanapun kita ber Ramadhan yang jelas bulan ini bulan berkah, manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk ber i'tikaf memohon kepada Gusti Allah. :)

Bismillahhirrohmanirrohim..

Share:

8 July 2013

Review Novel "Surat Dahlan"

Salah satu cara agar kita bisa menikmati hidup dengan tenang adalah, dengan membaca buku-buku atau novel-novel inspirasi yang dapat memotivasi diri kita sendiri. Jangan salah, sebuah novel dapat memberikan sebuah motivasi tersendiri bagi pembacaranya.

Baru saja saya mengkhatamkan novel garapan om Khrisna Pabichara dengan judul Surat Dahlan. Sebenarnya, ini merupakan novel trilogi yang digarap oleh om Khrisna. Judul pertama adalah Sepatu Dahlan, Surat Dahlan, kemudian yang terakhir adalah Senyum Dahlan. Saya kurang begitu paham bahkan tidak mengetahui isi novel pertama yang berjudul Sepatu Dahlan. Mungkin, lebih seru, karena memuat tentang kisah masa kecilnya pak Dahlan Iskan.

Rupanya, nama sebenarnya pak Dahlan Iskan adalah Muhammad Dahlan, beliau mengambil nama Iskan dari nama ayahnya. Beliau begitu mengagumi ayahnya, seorang anak laki-laki yang memiliki keteguhan hati, pekerja keras, bertanggung jawab, dan memiliki jiwa pemimpin, yang (mungkin) sedang dibutuhkan bagi negeri ini. Seorang laki-laki yang berasal dari keluarga buruh tani, serba kekurangan, yang mengenyam pendidikan tanpa mendapatkan ijasah, yang ketika masa mudanya pernah menjadi seorang buronan tentara. Seorang laki-laki yang pada akhirnya mampu mengubah dirinya menjadi pemimpin yang bertanggung jawab. Beliaulah pak Dahlan Iskan. Salut dengan kebesaran hati beliau, salut dengan kesederhanaan beliau. 

Di novel Surat Dahlan, lebih dijelaskan tentang peristiwa yang terjadi ketika Dahlan menjadi seorang laki-laki remaja. Dia merantau ke daerah, ke kota Samarinda, Kalimantan Timur. Melepas semua kenangan masa remajanya di desanya, meninggalkan semua teman-teman remajanya di Kebon Dalem, daerah perbatasan kota Madiun. Merantau ke tanah orang untuk melanjutkan sekolahnya. Dahlan sendiri pun sebenarnya tidak tertarik sama sekali untuk melanjutkan sekolahnya ini. Namun, karena dia menghormati ayah yang begitu dicintainya, akhirnya dia menuruti yang diperintahkan oleh ayahnya.

Novel ini memberikan sebuah pembelajaran yang sangat berharga buat saya. Bahwasanya, kita hidup bukan asal hidup. Pak Dahlan Iskan menikmati hidup yang benar-benar hidup. Berawal dari kehidupan yang serba kekurangan, yang pada akhirnya beliau memberontak karena pemerintah yang ketika itu tidak memiliki sikap adil untuk rakyatnya. Beliau berjuang mati-matian untuk membela hak-haknya, dan hak-hak warga negara. Lebih salut lagi, beliau sempat menjadi buronan nomor satu di kota Samarinda, karena aksi pemberontakannya kepada tentara saat itu. Namun, beliau tidak tertangkap, karena beliau "diasingkan" oleh seorang nenek yang rumahnya di pedalaman selama satu bulan.

Cerita dalam novel ini dikemas dengan kondisi masyarakat, kondisi remaja, dan kondisi Indonesia pada tahun 1970an. Oleh karena itu, kita dapat flashback dengan yang disampaikan penulis di novel ini. Dalam novel ini pun diceritakan, bagaimana Dahlan mengungkapkan perasaannya kepada seseorang yang dia cintai, bagaimana dia harus memilih dua hati yang sama-sama dia sayangi. Kalimat yang disampaikan juga sangat memotivasi. Banyak hal yang bermakna, yang dapat dipetik hikmahnya di novel ini.

Surat Dahlan. 

"Kunamai kepalaku dengan kebun harapan. Kebun yang segala jenis bibit dapat tumbuh di sana". ___ Khrisna Pabichara.


Share: