Showing posts with label Short Story. Show all posts
Showing posts with label Short Story. Show all posts

9 July 2015

Gang Goyang--

Cerpen ini sebenernya udah lama banget aku buat. Pas buka-buka email, kok jadi tertarik lagi buat aku pajang di blog. Iya, sekalipun masih kurang greget cerpennya, setidaknya aku pernah membuat cerpen. Hal yang aku cintai sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, menulis. Iya, dengan menulis pun aku bisa mengekspresikan apa yang aku rasakan dan dapat mengemukakannya... Happy writing and reading :)

Pemalang, April 2013

***

Sudah beberapa tahun rupanya. Lama sekali aku tidak mengunjungi tempat ini. Banyak yang berubah dari tempat ini. Tempat di mana aku belajar banyak hal dari orang-orang biasa yang sungguh luar biasa. Tempat ini, tempat yang menjadikanku dari yang bukan apa-apan menjadi apa-apa. Aku menyusuri jalan sempit yang mengarah ke arah gang goyang. Dulu gang ini ramai, banyak orang yang berlalu lalang melewati gang ini. Jika orang-orang pergi ke pasar, anak-anak bersekolah, para orang tua bekerja pun harus melalui gang ini. Gang ini seperti gang utama untuk mengarah ke tujuan bepergian masyarakat setempat. 

Sejak dibangunnya jalan raya 10 tahun yang lalu, dan berdekatan dengan tepi sungai Brengas, masyarakat pun lebih menyukai lewat jalan raya daripada gang goyang ini. Apalagi sekarang perekonomian masyarakat sekitar gang goyang ini sudah mulai meningkat, sehingga mereka tidak perlu repot pergi berjalan kaki atau menunggu mobil angkot untuk mengantarnya ke pusat kota. 

“Mba Darla. Mba Darla kan? Putrinya Pak Samsul?” Panggil seorang Ibu, yang berpapasan denganku. Aku tersentak, karena wajah si Ibu tidak begitu asing bagiku. Aku sedikit lupa, karena saat itu aku masih berumur 3 tahun, dan setelah umur 6 tahun aku pun pindah rumah karena Ayah mendapat tugas di luar kota, jauh dari kota tempat tinggal asalku. 
“Iya Ibu, saya Darla.” Sapaku, mengajaknya bersalaman. 
“Ya Allah, Mba Darla sudah semakin besar. Cantik lagi. Yuk mampir ke tempat Ibu. Masih ingat Ibu tidak?” Katanya. Wajahnya tenang, ramah dan santun. Sepertinya aku merasa dekat dengannya, seperti si Ibu selalu tahu dengan keadaanku dengan baik. 
"Ibu bisa saja.” Ucapku malu-malu, meskipun aku masih agak bingung dengan ajakannya. Tapi entah kenapa aku pun mau untuk mengikuti langkah dan gerak cepatnya. Si Ibu menggandeng lenganku, sambil bercakap-cakap. 
"Ya Allah, mba Darla. Ibu kangen sekali sama mba Darla. Dulu Ibu yang selalu merawat mba Darla, pas mba Darla masih kecil. Terakhir Ibu mengurus mba Darla ya waktu mba Darla umur 6 tahun itu.
”Ibu itu masih saja bercerita dengan semangatnya. Menceritakan tentangku ketika aku kecil. “Nah, ini lho Nak, rumah Ibu. Maaf ya, rumahnya tidak sebesar seperti rumah mba Darla.” Katanya dengan berwajah musam seperti menyesal mengajakku ke sini. 
“Ah tidak apa-apa Bu. Saya sudah sering kok tinggal di rumah seperti ini. Saya justru senang, karena dengan begitu saya bisa belajar banyak tentang kehidupan.” Ucapku, sedikit menenangkan si Ibu. 

Si Ibu tiba-tiba menangis dan memelukku erat. Rasa-rasanya ada hal yang ingin beliau sampaikan kepadaku. Rasa-rasanya aku begitu dekat dengan beliau. Rasa-rasanya aku sungguh tidak punya malu untuk tetap bersama beliau. Dan rasa-rasanya beliau seperti Ibu kandungku. Aku dibesarkan di keluarga yang cukup berada. Ayahku adalah seorang tentara yang memang tugasnya saat itu selalu berpindah-pindah, sedangkan Ibuku? Aku tidak tahu dengan keberadaannya. Ayah tidak pernah bercerita tentang Ibu kandungku. Memberikanku fotonya saja Ayah tidak pernah, seperti Ayah menutupi keberadaan Ibuku. Tapi Ayah pernah berkata, “Ibumu adalah orang yang baik Nak. Yang jelas jika nanti suatu saat kamu berjumpa dengan Ibumu, jangan pernah sekalipun kamumembencinya. Karna dia berjuang hidup demi kamu.” Begitulah kiranya pesan Ayah.  

Jadi, tidak ada salahnya jika aku merasa bahwa Ibu yang sejak tadi memelukku adalah Ibu kandungku. 
“Sini Nak, sini. Duduk di sini. Sebentar ya.” Si Ibu, menyuruhku masuk dan duduk di bangku yang kursinya, seharusnya sudah tidak digunakan. 
"Pak. Pak... ada Mba Darla.” Teriaknya dari dalam. 

Si Ibu, keluar dengan menggandeng tangan seorang laki-laki sebaya Ayahku keluar. Dia seperti tertegun dan terkejut melihatku berada di hadapannya. Aku merasakan ada hal yang aneh terhadapnya. Ada rasa rindu yang begitu mendalam dari diriku. Seperti rasanya aku ingin memeluk laki-laki sebaya Ayah ini. 

“Ya Allah. Mba Darlaaaa...” Panggilnya yang tiba-tiba beliau meneteskan air matanya untukku. Beliau berlari dan memelukku. 
Si Bapak, menangis tersedu-sedu sambil memelukku hingga akhirnya pun aku tak dapat menahan air mata yang sedari tadi aku bendung. Aku bingung, kenapa mereka sampai sehisteris seperti ini bertemu denganku. Ada apa sebenarnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Hati ini, otak ini, bertanya-tanya dan aku pun merasa kalang kabut dengan semua ini. Aku tidak mengerti. Ada yang disembunyikan oleh Ayah untukku.

***

Share:

5 May 2012

Nyanyian Burung Terakhir


kalo tulisan ini emang gue sengaja repost lagi gitu.. lo tau? Ini semacam karangan gue yang pertama *my first shortstory* hahaaa entahlah gue dapet inspirasi darimana yang jelas gue lupa. Gue beneran lupa!! pasword tumblr ajee gue lupa!! *kenapa masih ngebahas pasword tumblr cobaaaaa* ~aaaaaaaakkkk~


Aku berjalan menelusuri Taman Kota. Ku lihat bunga sudah tumbuh bermekaran. Lalu, kucium bunga tersebut. Aku melangkah mendekati seseorang yang duduk dibawah pohon beringin nan rindang. Lalu, pelan-pelan kudekati ia dari belakang, tiba-tiba ia tersentak dengan kedatanganku.
“Rara…Jangan bercanda!!! Aku tau kalau yang dibelakang itu kamu.” Ucapnya. Aku masih tetap berjalan perlahan-lahan, lalu aku langsung menutup matanya dari belakang. “Dor…tebak. Aku siapa!!!” kataku dengan suara yang dibuat-buat.
“Udah donx Ra, aku tau itu kamu. Ngaku aja deh…udah keliatan, itu suara buatan Rara…” ujarnya.
“Hehe…tau aja si kamu. Kalo ini Rara?!” ucapku lagi sambil melepaskan tanganku dari mata Genida.
“Ra, aku punya syair lagu baru. Ngga tau si, bagus apa ngga?” kata Genida.
“Aku yakin, pasti kalau syair itu dibuat oleh kamu, pasti bakalan keren dan bagus banget!!!” ungkapku.
“Huh…sukanya deh, membangga-banggakan aku. Emang ngga ada lagi ya selain membanggakan aku?” tanya Geni.
“Ngga ada!!! Soalnya aku sayang banget sama kamu…!!!” ungkapku lagi.
Genida adalah sahabatku sejak aku duduk di bangku TK, aku selalu bersama dengan dirinya hingga sekarang aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Dia sangat pintar bernyanyi, membaca puisi dan membuat syair lagu dari puisinya. Sudah banyak lomba yang dimenangkan oleh dirinya, aku sungguh salut dan bangga memiliki teman seperti Genida.
Aku lalu berdiri dan mendorong kursi roda Genida. Karena kaki Genida memang lumpuh sejak beberapa bulan yang lalu. Aku slalu menyemangati dirinya karna dia slalu berputus asa, sama seperti diriku yang slalu menyemangati diriku sendiri.
“Gen, kita disini aja ya? Disini kan bagus banget…liat pemandangannya, kamu bisa berinspirasi membuat puisi lagi.” Kataku.
“Iya deh, disini aja.” Ucap Genida.
Genida slalu menemukan inspirasi dimanapun ia berada. Ketika aku sedang bermain gitar, aku melihat seorang laki-laki melihat kami bernyanyi dibalik pohon kelapa. Perlahan, laki-laki itu mendekati kami dan aku pura-pura tidak tau apa-apa.
“Hay, suaramu bagus banget…aku seneng bisa dengerin suaramu…” ungkap laki-laki itu.
Aku dan Genida sempat kaget dengan kedatangannya,
“Terima kasih…” balas Genida.
“Ohya, perkenalkan namaku Iwan. Kamu?” tanya Iwan sambil menjulurkan tangannya pada Geni.
“Aku Genida, panggil saja aku Geni. Ini sahabatku Rara.” Jawab Genida sembari memperkenalkan aku.
Aku hanya tersenyum padanya begitu juga sebaliknya.
“Eh, Gen, udah sore keburu malem. Pulang yuk? Ntar kamu dicariing lagi, sama om dan tante?” ajakku.
“Ya uda deh…!!!” kata Geni.
“Eh, boleh ngga aku nganterin kalian berdua pulang?” tanya Iwan.
Aku dan Geni saling lirik.
“Boleh…!!!” jawab Genida.
“Makasi ya…mmm…Ra, biar aku aja yang dorong kursi rodanya.
” Pinta Iwan. “Gimana Gen?” tanyaku pada Geni.
“Ngga usah Wan, biar Rara aja yang dorong. Soalnya, barangkali kamu belum terbiasa…” kata Geni.
“Nah…maka dari itu, biar aku terbiasa dorong kursi roda. Please…” Kata Iwan memohon.
“Ya udah deh…Ra, biar Iwan aja!” kata Genida.
Dalam perjalanan pulang, aku hanya dibelakang Geni dan Iwan. Aku merasa asing diantara mereka berdua. “Sepertinya, Iwan suka sama Genida?” ungkapku dalam hati.
“Ra…sini…jangan ngelamun terus. Ntar nabrak loch.” Panggil Genida.
“Eh iya…!!! Mmmm…Gen, aku mau ke warung bentar terus sekalian mau pulang langsung. Kamu kan udah ada yang nganter. Jadi kamu pulang sama Iwan aja ya Gen?” ucapku.
“Loh…kok gitu? Ngga Ra, ntar biar kamu juga di anter sama Iwan. Ya kan Wan?” tanya Geni pada Iwan.
Iwan hanya mengangguk tersenyum.
“Ngga usah lah…Gen. Wan, aku pokoknya percaya banget sama kamu. Jaga Genida ya, harus sampai rumah!!!” pesanku.
Lalu, aku berjalan ke arah warung. Itu hanya alasanku, karna aku merasa asing di antara mereka. Saat aku melamun dalam perjalanan, aku dihadang dan ditodong oleh orang yang tidak aku kenal.
“Cewe…jalan sendirian? Abang temenin ya neng?” kata salah satu dari mereka.
Aku hanya terdiam dan terus berjalan. Namun, mereka tetap mengikutiku dan menarikku
“Heh…serahkan dompetmu!!!” kata orang yang berambut gondrong.
Aku berteriak meminta tolong. Tiba-tiba Iwan muncul dan langsung menghajar gerombolan-gerombolan tersebut. Setelah perkelahian selesai, aku pun di tuntun Iwan pulang.
“Apa yang dibilang Genida bener kan? Kenapa kamu memisahkan diri?” tanya Iwan.
Aku terdiam.
“Ra, kamu jangan memalingkan muka padaku donx Ra… kamu kenapa si, slalu menghindar dariku?” tanya Iwan lagi.
Aku masih terdiam.
“Ra…aku tanya sama kamu. Jawab pertanyaanku donx Ra!!!” bentak Iwan padaku.
“Oh…ternyata kamu masih peduli sama aku? Lewat Genida? Kamu merayu dia kan? Kamu jangan pikir aku mau balikan lagi sama kamu.” Jawabku dengan emosi.
Sebenarnya, aku dan Iwan adalah teman satu sekolah. Namun, Genida tidak tau Iwan adalah mantan pacarku. Karena aku dan Genida tidak satu sekolah. Dia melihatku bernyanyi bersama Genida di dekat Taman. Tapi, aku pura-pura tidak mengenal Iwan.
“Kenapa kamu, tadi pura-pura tidak mengenaliku?” tanya Iwan.
“Buat apa? Buat apa aku kenal sama kamu lagi?” tanyaku balik.
“Kok kamu jawabnya kaya gitu? Aku ngga nyangka kamu bisa keras kepala kaya gini.” Kata Iwan.
“Terserah!!!” kataku sambil berlari pulang.
Iwan berteriak memanggil namaku. Tapi, aku pura-pura tidak mendengarnya.

***

Keesokan paginya, saat disekolah Iwan slalu menemuiku dan berkata ingin meminta maaf padaku.
“Ra, please maafin aku.” Kata Iwan. Aku hanya terdiam dan berjalan cepat untuk pulang sekolah.
Sore harinya saat aku sedang bersama Genida, Iwan datang lagi menemuiku dan Genida. Iwan hanya mengobrol dengan Genida dan aku hanya terdiam.
“Gen, biasanya kamu kemana aja?” tanya Iwan.
“Aku seringnya sih kesini bareng sama Rara. Dia kan sahabat yang paling baik yang pernah aku miliki. Aku beruntung banget loh, bisa punya sahabat kaya dia.” Jawab Genida melirikku.
“Apaan si Gen…biasa aja lagi…!!!” kataku senyum.
Iwan hanya melirikku dengan senyum, namun aku tidak membalas senyumnya. Aku lalu, mengajak Genida pulang. Dan Iwan pun slalu ada diantara kami berdua. Sejak saat itu, Iwan slalu datang menemuiku dan Genida di Taman.
Seperti biasa, pulang sekolah aku slalu bersiap untuk pergi ke Taman. Kali ini aku terlambat, karena kebetulan ada kegiatan di sekolahku. Aku ganti baju dengan gugup, dan berlari menuju Taman sambil membawa gitarku. Tiba-tiba orang yang aku temui dan biasa duduk dibawah pohon tesebut tidak ada. Hanya ada kursi di bawah sana.
“Mana Geni ya? Masa si, dia belum datang? Padahal aku kan benar-benar terlambat banget…tumben banget!!!” pikirku sambil duduk.
“Apa…jangan-jangan dia marah kali ya sama aku. Gara-gara aku datang terlambat?” pikirku lagi. 10 menit bahkan sampai 45 menit Genida tak muncul-muncul juga. Dan, aku melihat Iwan dari jauh berlari mendatangiku.
“Ra, bisa ikut aku sebentar ga?” ajak Iwan.
“Kemana? Ngga!!! Aku lagi nungguin seseorang.” Jawabku jutek.
“Ra, kamu nungguin siapa? Cowo baru kamu?” tanya Iwan lagi.
“Kamu mau tau aja deh.” Jawabku lagi marah.
“Ra, dari pada kamu nungguin orang yang ngga dateng-dateng mending kamu ikut aku aja.” Ajak Iwan.
“Aku kan udah bilang, kalo aku ngga mau ikut kamu…” bentakku.
“Ra, ini sahabat kamu. Geni!!!” balas Iwan membentakku.
Aku langsung terdiam dan berpikir ‘Ada apa dengan Geni?’. “Emang, Geni kenapa?” tanyaku penasaran.
“Ya udah…pokoknya sekarang, kamu ikut aku aja. Yuk…” ajak Iwan sambil menarikku dari tempat duduk yang berada di taman.
Aku dan Iwan berlari sambil bergandengan menuju kerumah Geni. Sesampainya disana, aku melihat orang tua Geni terutama mamahnya sedang menangis terisak-isak.
“Tante, ada apa?” tanyaku pada mamah Geni yang duduk di kursi.
“Geni, Ra!!! Geni…” kata mamah Geni gagap.
“Iya tante, memang ada apa dengan Geni?” tanyaku tambah penasaran.
“Geni…sakit. Dia sakit kanker kata dokter sudah nyawanya sudah sulit untuk diselamatkan lagi.” Jawab mamah Geni.
“APA!!!” aku tersentak dan benar-benar kaget. Ragaku seperti tidak bisa menerima ini semua. Genida sahabatku. Kenapa dia tidak pernah cerita bahwa dia mengidap penyakit ganas seperti itu. “Geni…kanker? Sakit?” kataku tergagap.
Air mataku langsung menitih dan aku langsung memeluk Iwan. Aku masuk ke dalam kamar Geni. Geni hanya terbaring lemah di kasurnya. Ia melihatku dan tersenyum.
“Hai Ra!!!” sapanya. Aku melangkah menuju dirinya dengan pelan-pelan.
“Gen, kenapa kamu tidak pernah bilang masalah ini?” tanyaku. Geni hanya tersenyum.
“Buat apa bilang? Kalo aku bilang, malah semakin membuat sedih orang yang ada didekatku.” Jawabnya.
“Tapi, setidaknya aku kasi tau dong Gen…kalo kaya gini, aku malah tambah sedih banget…” kataku.
“Udahlah…lagian, sekarang kamu udah tau kan?” tanya Geni dengan senyum.
Ia melirik ke Iwan dengan senyum lalu melirik padaku. “Hayo…ada yang disembunyiin juga kan dari kamu?” tanya Geni.
“Apaan?!! Aku slalu jujur sama kamu, aku ngga pernah bohong sama kamu kan Gen?” tanyaku balik.
“GA!!! Yang ini, kamu ngga pernah jujur sama aku. Iwan, pacar kamu dulu kan?” tanya Geni lagi.
Aku tersentak kaget sambil melihat ke arah Iwan.
“Tau ngga Ra, Iwan deket sama aku soalnya dia pengen balikan lagi sama kamu. Dia pengen aku bujuk kamu supaya kamu balikan lagi sama dia. Pleas Ra, kasih dia kesempatan yang kedua kalinya. Ini permintaan terakhir aku.” Kata Geni.
“Ngga Gen, kamu ngga boleh ngomong kaya gitu. Pleas jangan bilang kaya gitu lagi sama aku.” Pintaku.
“Ra, ini memang udah akhir hidupku. Jadi, jangan kecewain aku. Pleas kamu balikan lagi sama Iwan. Iwan udah berubah, dia ngga kaya dulu lagi. Pleas…” Pinta Genida memohon.
Aku lagi-lagi memandang ke arah Iwan. “Baiklah…aku beri dia kesempatan sekali lagi.” Kataku akhirnya.
Genida tersenyum. “Oya Ra, nih tolong kita nyanyi bareng-bareng ya sekarang? Itu permintaanku.” Pinta Genida memberikan selembar syair lagu padaku.
Aku lalu, bermain gitar dan Genida bernyanyi. Walaupun ia sakit, suaranya masih tetap bagus seperti dulu. Tiba-tiba suara Genida melemah bahkan tak terdengar suaranya lagi. Matanya langsung tertutup. Dan aku langsung menghentikan permainan gitarku. Pelan-pelan aku membangunkan Genida,
“Gen…Gen…Genida…bangun…katanya pengen nyanyi bareng lagi sama aku. Pleas Gen jangan bercanda. Aku ngga suka kamu bercanda kaya gini…” kataku sambil menangis. “Gen…pleas bangun…pleas. Gen, Gen, Geni… kamu jahat, kamu ninggalin aku dengan cara kaya gini? Kamu jahat!!!” teriakku sambil menangis. Aku memeluk Iwan dengan terisak-isak. Mamah, papah Geni dan Dokter pun datang, dan kata dokter Genida sudah tiada, dia sudah tak terselamatkan lagi.
Itulah nyanyian terakhir Genida. Burung yang berkicau indah sekarang sudah tiada. Sahabat yang slalu didekatku pun dia tlah hilang dan pergi untuk selamannya.
Share:

27 January 2012

Cerita Sore 'Aku dan Kamu'

"Le, kenapa kamu melamun terus kerjaannya? Gak ada apa yg km kerjakan. Selain hanya duduk melamun disini setiap menjelang sore?" Tanya laki-laki yg telah menepuk pundakku itu.

Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Aku mengajaknya untuk duduk bersebelahan disebelahku.

"Kamu tahu apa yg sedang aku pikirkan. Ris?" tanyaku menghadap ke Daris.

Yah, laki-laki itu adalah Daris. Sahabatku dari aku kecil. Daris hanya tersenyum melihat wajahku dan dia mengangguk.
"aku tau, tau sekali apa yg sedang km pikirkan Le" Jawabnya menepuk-nepuk punggungku.

"Lihat, langit itu indah. Langit yang awalnya hanya berwarna biru/putih, dia elok sekali sore ini" Aku bercerita menunjuk ke arah langit. "Bayangkan saja, langit itu kehidupan kita. Langit bisa berubah warna. Dan hidup kita juga bisa bukan?" Tanyaku.

Daris pun ikut serta memandang ke arah langit. "Langit itu tatkala seorang manusia. Dia hidup lalu terkadang juga sedih yg berarti mendung, menangis yg berarti hujan, tersenyum yg berarti cerah dan seterusnya. Tuhan menciptakan semua isi alam raya ini hampir slalu diibaratkan dg kehidupan. Tdk cuma langit kok. Bunga, pohon, dan lain2 pun bisa kita ibaratkan layaknya kehidupan." ceritanya panjang lebar.

Aku tersenyum sambil memandang langit sore ini. Dan "Indah ya Ris, kehidupan itu." Ujarku.

Daris mengangguk setuju dg apa yang aku katakan.

*just story* :D

~vidahasan~
Share:

15 December 2011

Rindu Kakakku


Dalam doaku, aku berharap bahwa dia akan slalu baik-baik saja disana. Meski jauh dariku, jauh dari ayah ibu dirumah, dimanapun dia berada akan slalu ku doakan kakakku disurga sana. Sudah 1 tahun, dia pergi meninggalkanku di dunia, benar-benar sosok kakak yang sangat aku butuhkan saat aku sedang sedih dan susah. “Kak Rama, Intan rindu sama kakak. Sekarang Intan sudah berumur 17 tahun kak. Intan sudah kelas 3 SMA. Kalau kakak masih disamping Intan, Intan tau kakak akan slalu ngejahilin Intan.” Ucapku dalam hati. Tiba-tiba air mataku jatuh berlinang tanpa sadar. Aku benar-benar kehilang dirinya.
“Intan, loe ngelamun aja. Hiyahh, loe nangis?” tanya teman sebangkuku, Ratna.
“Heh, kagak. Gue kagak nangis Rat. Ngagetin gue aja si loe?” ucapku.
“Sory, Ntan. Soalnya dari tadi gue ngeliat loe ngelamun mulu si. Loe nangis karna rindu sama kak Rama kan?” tanyanya padaku.
“Iya Rat, gue belum bisa nerima ini semua. Gue kangen sama kak Rama. Dia yang slalu ngasih gue semangat Rat.” Kataku sembari berlinang air mata.
“Gue tau, Ntan. Belajar buat nerima ikhlas itu sangat sulit. Tapi loe harus yakin kalo kak Rama juga disana pasti bakal senang. Loe doain dia aja terus, loe gak mau kan liat kak Rama menderita disana karna kesedihan loe?” tanya Ratna.
Ku fikir apa yang dikatakan oleh Ratna benar adanya, aku harus belajar ikhlas dan aku harus kuat tanpa kak Rama. Aku harus bisa bangkit lagi, karna dengan begitu kak Rama pasti akan senang melihatnya. “Thanks Rat, gue akan mencobanya.” Balasku sambil memeluk Ratna.
“Gitu donk, itu baru sahabat gue.” Ujar Ratna.
Setelah pulang sekolah hari ini, ada tugas dari sekolah yang harus aku selesaikan. Namun, aku harus mencari infonya lewat internet. Tentu saja, aku harus pergi ke warnet dekat rumahku. Aku mencoba menyambi untuk membuka twitterku agar aku tidak bosan dengan tugasku. Ku lihat di mentionsku, ada pesan yang berbunyi “@ntanntan Intan, kakak bentar lagi pulang. Awas ya kalo gak nraktir kakak. Kakak tunggu hutangmu. Hehehe :D”. Aku membacanya sambil tersenyum, namun aku kaku. Apakah aku harus menemuinya untuk membayar hutangku padanya. Aku mencoba membalas twittnya, “@yudhaara emm… Ntan jadi bingung deh, harus ya Ntan bayar utang Ntan? Males ah ketemu sama kakak. :p” balasku padany di twit.
Yudha adalah kakak kelasku sewaktu aku masih duduk dibangku SMA. Dia 2 tingkat di atasku dan dia juga sahabat dekat kak Rama. Semenjak kak Rama meninggal dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjagaku dan berusaha untuk menggantika posisi kak Rama sebagai kakak kandungku. Namun, aku bingung dengan perasaanku, rasa sayang sebagai kakak atau lebih? Karena meskipun dia menganggapku seorang adik, tetap saja aku dan dia bukan 1 ayah dan ibu.
Sepulangnya aku dari warnet, aku langsung mengambil buku pelajaranku dan langsung mengerjakan tugasku. Tiba-tiba terdengar ketok pintu di kamarku,
“Ntan, Mama pergi ke toko dulu ya. Kamu jaga rumah ya sayang… Papa, pulang malam hari ini. Nanti Mama telfon kamu, Mama pulang jam berapa. Oya, kalau mau makan, tinggal ambil aja ya sayang. Mbok Enah sudah memasakkannya untukmu. Dahh sayang…” kata Mama.
Aku hanya bisa membalas, “Iya Ma…”. Hatiku mulai bercurhat diri lagi dan mengingat kak Rama. “Kakak liat? Sekarang Mama dan Papa, sudah mempunyai kesibukkan masing-masing. Adakah dia lupa sama Intan kak? Intan sedih kak, kalau kaya gini terus, mending Intan pergi bareng sama kakak.” Ucapku meneteskan air mata yang kedua kalinya untuk hari ini.
Kak Rama meninggal karena sebuah tragedi yang menimpanya. Saat dia sedang mengendarai mobil bersama dengan teman-temannya, ia tewas dalam sebuah kecelakaan maut itu. Mobil kak Rama masuk jurang dan kak Rama kehabisan oksigen saat perjalanan ke rumah sakit. Teman-teman kak Rama sebagian besar luka-luka saja, termasuk kak Yudha. Sekilas aku terbangun dari lamunanku karena aku mendengar Bi Enah (pembantu kesayangaku) mengetuk pintu kamarku.
“Mbak Intan, sudah makan belum?” Tanya Mbok Enah.
“Eh mbok, Ntan belom lapar mbok.” Jawabku.
“Ini, sudah simbok bawakan buat mbak Intan. Kalau ndak makan nanti sakit mbak.” Kata simbok.
Terlintas dalam pikiranku, “Ahh.. simbok seperti ibu kandungku saja. Bahkan dia lebih jeli mengurusku ketimbang mama.” “Iya mbok iya, lagian ngapain juga simbok repot-repot bawa ke kamar Intan? Ntan kan bisa ambil sendiri mbok.” Ucapku sambil tersenyum padanya.
“Halah, simbok uda ngurus mbak Intan dari mbak Intan kecil. Jadi simbok sudah biasa melakukannya mbak.” Kata simbok menegaskan.
“Hihihi, iya mbok iya. Makasi mbok, simbok uda setia sama Ntan. Intan jadi berhutang budi sama simbok.” Kataku memeluk tubuh gemuk itu.
“Udah mbak udah, mbak Intan makan dulu aja sekarang. Nanti sakit.” Ucapnya.
“Oke mbok.” Ujarku sambil mengambil piring yang berada di tangan mbok Enah. Mbok Enah langsung beranjak pergi meninggalkan kamarku.
***
Aku terbangun malam hari, “Haduh, rupanya aku tertidur dari tadi sore.” Batinku dalam hati. Ku lihat HPku yang tergeletak di meja belajarku, ada 5 pesan di kotak masuk, 2 diantaranya dari Kak Yudha. “Ntan, kakak sudah pulang nih dari Jember. Besok kakak antar kamu ke sekolah ya Ntan?” SMSnya yang pertama. Di atasnya dia mengirim pesan lagi “Ntan, kok gak di balas? Kakak uda kangen nih sama Intan. Hehe…” Aku lihat jam dinding di kamarku, rupanya sudah pukul 01.30. Cukup lama juga aku tertidur. Tidak langsung ku balas SMS kak Yudha, hanya aku biarkan HPku tergeletak saja di samping laptoku. Aku mulai melanjutkan tugas sekolahku yang belum aku gandrungi sama sekali dari tadi siang.
Pukul 04.00 shubuh. Tiba-tiba HPku bordering, sekilas ku lihat nama panggilan “Kak Yudha” dan langsung ku terima terlfonnya.
“Dek, kok semalam SMS kakak gak kamu balas? Udah tidur yaa? Padahal kakak fikir masih sore.” Tanya kak Yudha.
“Maaf kak, Ntan kecapean akhirnya tertidur gitu deh. Hehe… tadi bangun jam setengah dua tapi ngerjain tugas sekolah kak. Maaf yaa…” jawabku.
“Ohh… ya udah gak apa. Gimana? Kakak antar Intan sekolah yaa?” Tanyanya lagi menegaskan SMSnya yang semalam dia kirim.
“Beneran kakak, mau antar Intan? Kalau gitu Intan gak nolak lagi kak. Yess dapet gretongan dehh..” ujarku sambil tertawa terbahak-bahak.
“Wuluuhhh… maunyaa, gak yey, sapa juga yang bilang gratis? Enak banget? Besok sepulang sekolah, Intan harus traktir kakak makan bakso depan sekolah tuh.” Katanya.
“Wealahhh… enak tenan, ternyata yo ada maunya nganter Intan. Parah parah parah asli!” jawabku agak kesal..
“Awas yaa, jam 7 kurang 15 menit harus siap.” Kata kak Yudha.
“Yey, nganter ya tinggal anter kok. Bawel banget sii ni orang, yang sekolah siapa juga!” kataku menegaskan.
“hahaa… iya dink iya. Yahh yang penting kakak datang jam segitu nduk.. yauda sono mandi.” ujarnya lagi.
“Iyey… dasar cerewet!” ucapku padanya.
“Wealaahh ni bocah!” kata kak Yudha lagi.
Aku langsung mematikan telfonnya tanpa mengucapkan salam penutup padanya. Sudah terbiasa dan kebiasaan kalau kami bertelfon seperti itu. Setelah selesai semua kegiatan di pagi hariku, aku bergegas langsung turun ke meja makan. “Ahh ada mama papa, waahh tumben sekali. Tapi aku senang.” Aku menyambut mereka berdua dengan penuh kehangatan.
“Pagi ma, paa” salamku pada mereka.
“Pagi sayang… ini, sudah mama siapkan roti dan susu. Cepat minum, si Yudha sudah menunggumu di luar.” Kata Mama.
“Hiyahh… kak Yudha udah di depan ma?” tanyaku.
“Iyaa… udah sekitar 5 menit yang lalu.” Jawab Mama.
“Woalahh dasar dodol, gak ngemeng-ngemeng dia.” Kataku sedikit kesal.
Aku langsung bergegas lari ke depan rumah. Sosok itu memang benar-benar mengingatkanku pada kak Rama. Dengan motornya dan helm yang sama yang sering di gunakan oleh kak Rama saat dia masih hidup. Aku melamun sejenak karena pikiran terpusat kepada kak Rama, aku tersenyum karena seolah-olah kak Rama ada di depanku dan siap untuk mengantarku ke sekolah seperti yang ia lakukan sebelum ia meninggalkanku selamanya. Tiba-tiba aku memanggil sosok laki-laki itu
“Kak Rama…” panggilku padanya. “Astaghfirulloh, apa yang telah aku lakukan? Itu kan kak Yudha, bukan kak Rama. Bodohnya aku ini.” Ujarku dalam hati menyesal. Namun, sosok itu melihatku dan langsung mendatangiku.
“Kenapa dek? Inget Rama lagi ya?” Tanya kak Yudha.
“Iya kak, Ntan ngeliat kak Yudha, seolah-olah Intan liat kak Rama hidup kembali. Maaf yaa kak.” Jawabku.
“Udah gak apa. Intan pasti mengingat karna helm dan motor kak Yudha sama persis dengan yang sering di gunakan oleh Rama kan? Hanya plat motornya saja yang berbeda.” Katanya.
“Iya kak. Aduuhhh maaf yaa kak.” Ucapku yang tiba-tiba menitiskan air mata.
Mama dan Papa langsung menuju ke depan rumah untuk melihat kondisiku yang agak kaget dan menangis. Mereka menenangkanku, mereka tahu apa yang aku rasakan selama kak Rama pergi meninggalkan kami 1 tahun yang lalu.
“Udah sayang… sana kamu berangkat sekolah.” Tegur papa.
“Eh iyaa pah, Ntan pergi dulu yaa…” ucapku sambil mencium tangan mama dan papa.
Aku pun di tuntun oleh kak Yudha menuju motornya sembari kak Yudha berpamitan sama mama dan papa.
“Om, tante.. berangkat dulu ya.” Katanya.
“Iya Yudha, hati-hati ya le…” ucap mama dan papa.
“Oke tante. Yudha akan menjaga Intan. Tante tenang saja…” kata kak Yudha sambil tersenyum dengan mereka.
Dalam perjalanan aku hanya terdiam mengingat kejadian tadi pagi. Benar-benar kaget kenapa aku bisa berperilaku seperti itu. Padahal kak Rama sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Tiba-tiba kak Yudha membangunkan lamunanku.
“Ntan, tiap orang pasti bakalan mati kok. Ntan harus bisa nge ikhlasin kak Rama. Dia pasti akan bahagia disana asal Intan gak sedih terus kaya gini. Intan bukannya uda janji sama kak Yudha gak bakalan kaya gini lagi?” tegur kak Yudha.
“Iya kak, maaf Intan keceplosan. Soalnya Intan benar-benar rindu kak Rama.” Jawabku.
“Oke, Kalau gitu, Intan gak apa anggap kak Yudha sebagai kak Rama Intan. Kak Yudha siap kok ngebahagiain Intan.” Ucapnya sambil melirik ke arahku.
Hatiku sempat berdegup cepat, entah apa yang aku rasakan saat itu. Aku benar-benar merasa nyaman berada di dekatnya. Dia seperti sosok malaikat penjagaku selama 1 tahun ini.
“Yaudah, tar kakak jemput Intan jam 1 tho?” tanyanya menghentikan motornya didepan pintu gerbang sekolahku.
“Eh iya kak. Makasi ya kak… kakak uda slalu berusaha buat bikin Intan bahagia.” Ucapku.
“Udahh santai aja. Lagian Ntan uda kakak anggap kaya adik kandung kakak sendiri.” Katanya.
Entah kenapa, saat kak Yudha mengatakan “kakak uda anggap kaya adik sendiri” rasanya aku lega sekali. Mungkin karna aku sudah tahu statusku di matanya memang benar-benar adiknya. Aku langsung masuk ke kelasku, namun tidak lama kemudian aku melihat sesosok laki-laki yang wajahnya benar-benar mirip kak Rama di kelasku. “Tidak, aku pasti sedang membayangkan kak Rama lagi deh ini. Aduhhh… gak boleh sedih lagi. Harus senang pokoknya hari ini. Saat aku tutup mataku aku yakin tidak akan melihat sosok yang mirip kak Rama lagi wajahnya.” Aku pun mencoba untuk menutup mataku beberapa menit sekitar 5 menit lalu aku buka kembali tapi sosok itu masih saja duduk disamping tempat dudukku.
“Heh Ntan, loe kenapa? Kedap kedip mata gak jelas gitu?” tanya Ratna.
“Ahh… itu ada sosok yang wajahnya mirip sama kak Rama. Pasti gue lagi bayangin kak Rama lagi saking aku merindukan sosoknya.” Jawabku.
Ratna tertawa terbahak-bahak melihat tingkahku seperti orang gila dan gak waras tersebut. Dia benar-benar mengejek tingkahku yang tidak karuan.
“Dasar dodol… lu tau kagak. Dia itu Andre, murid pindahan dari Semarang dol.” Kata Ratna.
Aku tercengang kaget, “Hiyahh, bego banget gua! Ngape loe gak bilang dari tadi?” kataku kesal.
“Lha lagian loe kagak nanya sama gue?” kata Ratna.
“Tega luu…” ucapku sambil mukul kepala Ratna.
Ketika aku sudah berada di sekolah, logatku memang berbeda jauh sangat jauh saat aku berada di rumah. Di sekolah logatku logat gaul anak-anak Jakarta, tapi di rumah logatku Jawa karena memang asliku dari Yogyakarta. Sejak 3 tahun pindah ke Jakarta, logat jawaku hanya ku pergunakan saat berjumpa dengan saudara-saudaraku saja dan di rumah. Aku kembali memandang Andre, anak baru di kelasku. Tiba-tiba terbesit pikiran, aku ingin mengerjainya, ya hitung-hitung salam perkenalan dariku.
“Eh Rat, gue punya ide. Gimana kalo kita ngerjain tuh anak baru?” kataku usil.
“Jiahh… dasar lu yey. Kagak dah, gua kagak ikutan, beresiko. Lu aja sono sendiri.” Ucap Ratna.
“Ahh gak seru lu Rat. Payah lu !” kataku mengejeknya.
“Tetep ogah, lu aja sono dahh…” kata Ratna lagi.
Dari pada kelamaan nunggu persetujuan Ratna, mending aku lakukan sendiri aja. Aku berusaha mendatanginya, dan mencoba berkenalan dengannya.
“Eh, lu anak baru yey? Nama lu sape?” tanyaku berbasa-basi. Andre hanya tetap diam, dia tidak membalas sapaanku. “Heh, gua tanya ama lu… kok gak jawab?” tanyaku lagi. Dia masih tetap aja diam tidak memberi respon sama sekali terhadap pertanyaanku. Ratna yang melihat hanya tertawa terbahak-bahak saja seperti mengejekku. Aku langsung emosi dan marah-marah terhadap Andre. “Eh lu bisu ye? Ditanya baik-baik kagak dijawab ! mau lu apa si?” kataku marah padanya.
Tiba-tiba dia berdiri dan mengucapkan sesuatu padaku, “Heh ! Gua hanya mau jawab pertanyaan orang yang penting dan sopan. Bukannya lu uda tanya ama temen lu nama gua?” ujarnya dengan nada agak sedikit tinggi.
Teman 1 kelasku heboh melihat tingkahku dan Andre yang kaya kucing dan tikus yang sedang berkelahi. Aku hanya terdiam dan melihatnya dengan pandangan sinis. Aku pun langsung menuju ke tempat dudukku kembali sambil ngomel-ngomel ke Ratna.
“Hiyaa… tu cowo nyebelin banget si? Gila yaa? Stress kali tu orang. Di tanya baik-baik juga jawab gitu. Kalau dia gak mirip kak Rama aja, uda gue cincang sama di goreng dia.” Kataku mengomel.
Ratna hanya tersenyum dan tertawa, aku hanya bengong melihat sikap Ratna yang kali ini tidak ada respon atas perbuatanku. Agak sedikit kesal juga dengannya, karena hari ini Ratna hanya bisa menertawakanku saja.
***
Bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung beranjak dari bangkuku segera menuju ke depan pintu gerbang sekolah. Sempat aku berpapasan dengan laki-laki sombong yang bernama Andre dan aku hanya melihat dengan lirikan sinis dan kesal padanya. Aku melihat sosok kak Yudha sudah menungguku di warung bakso depan sekolah, segera aku mendatanginya.
“Uda lama kak nunggunya?”tanyaku.
“Gak lahh.. lagian kalau lama juga kan enak, bisa menunggu sambil makan atau minum gitu.” Jawabnya.
“Siip dah kak. Eh kak, hari ini ada anak baru di kelas Intan. Gilaa tuh cowo yaa sombongnyaaa idihh amit-amit dah kalau dekat sama dia. Beneran dahh kak, hari ini Ntan bener-bener kesel sama emosi gara-gara tuh cowo.” Kataku cerita panjang lebar.
“Haha… tapi ganteng kagak si cowonya itu?” tanya kak Yudha lagi, meledekku.
“Apaan si kak. Ganteng si ganteng kak, tapi ya itu nyebelin banget sumpah. Tapi yang bikin Ntan gak ngelawan dia wajahnya mirip kaya kak Rama kak.” Ucapku sedikit sedih. “Coba aja kalau dia, gak mirip kak Rama udah Ntan bobrokin tuh cowo” kataku lagi.
Kak Yudha hanya memandangi wajahku dan dia seperti tahu apa yang aku rasakan saat ini.
“Eh, kakak mau ngenalin seseorang sama Intan.” Kata kak Yudha.
Aku yang sedang makan es campur kaget, “Sama siapa kak? Orang mana? Dia temen kakak juga?” tanyaku langsung tancap.
“Hiyaa ni anak, satu-satu kenapa tanyanya. Dia adik pacar kakak, sekolah disini juga kok. Udah tar juga Intan tau.” Jawab kak Yudha sambil melihat sosok dibelakangku. “Nah tuh dia orangnya.” Kata kak Yudha sambil melambaikan tangannya.
Aku melihat sosok tinggi tegap tersebut dan aku terkejut es yang baru aku masukkan ke mulut langsung ku telan tanpa ku kunyah terlebih dahulu. “Hiyahh kak, itu kan? Itu kan?” ucapku terbata-bata hingga aku lupa bertanya sama kak Yudha “Ternyata dia sudah punya pacar. Tapi dia tidak pernah memberi tahuku?” batinku dalam hati.
“Kenapa Ntan? Kok Intan kaget gitu?” tanya kak Yudha dan aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Sosok laki-laki itu semakin mendekat dan akhirnya, “Hyahh ngapain lu disini?” tanyanya.
“Gua? Ya makan lah disini…” jawabku.
“Lu pasti ngikutin gua kan? Gara-gara gua gak jawab pertanyaan lu yang tadi pagi?” tanyanya lagi (GeEr).
“Heh jangan GeEr dehh lu, gua bahkan nyesel ngapain juga mesti tanya sama lu.” Jawabku marah.
Kak Yudha kaget melihat tingkahku yang galak seperti itu lalu dia pun melerai kami berdua. “Sebentar, jadi kalian uda saling kenal tho?” tanya kak Yudha.
“Apa? Kenal?” ucapnya. “Kak, dia itu cewe galak dan sok di kelasku. Gila yaa kenapa mesti gua sekelas sama cewe kaya lu.” Kata Andre menunjuk tangannya ke arah wajahku.
“Cukup, cukup Andre. Sini dah kalian berdua duduk tenang dulu kenapa tho? Kaya anjing sama kucing aja kalian.” Kata kak Yudha menenangkan. “Gini, Intan ini Andre adik cewe kak Yudha. Dia emang baru pindah dari Semarang. Kakak sih berharap kalian bisa jadi dekat. Lha kok malah jadi kaya anjing sama kucing tho yoo.” Ujar kak Yudha.
“Dia duluan kak yang mulai. Orang di tanya baik-baik kok jawabnya judes gitu.” Kataku menyalahkan Andre.
“Eh lu tu yang tanyanya gak sopan sama orang yang baru pertama ketemu.” Ucapnya yang tidak mau mengalah.
“Halahh udah udah.. kalian masih ribut aja. Ati-ati nanti jadi dilemma jatuh cinta lho?” kata kak Yudha.
“Hiyaaahhh najis, amit-amit dahh.” Ucapku dan Andre bebarengan. Sempat aku melihat wajahnya “Tapi dia emang ganteng mirip kak Rama lagi. Ya Tuhan… apa yang harus aku lakukan?” ujarku dalam hati.
***
Semenjak itu, saat aku sedang jalan dengan kak Yudha pasti disitu ada Andre yang slalu mengikuti kami berdua.
“Kak, kenapa si dia slalu ada dekat kita?” tanyaku pada kak Yudha.
“Intan, dia itu kan adik cewe kakak. Kakak harap Intan memaklumi karna dia disini sendiri nduk.” Jawab kak Yudha.
Jawaban kak Yudha seolah-olah membuatku merasa seperti tersingkirkan dari kehidupannya. Dia slalu bilang karna Andre adik ceweknya lah, dia tinggal sendiri di Jakarta lah, apalah dan aku bosan mendengar alasan kak Yudha. Dia seperti lebih mementingkan pacarnya sekarang daripada aku. Tiba-tiba saat kami bertiga sedang makan, kak Yudha mendapat telfon. Lalu dia menitipkanku pada Andre.
“Intan, kakak jemput kak Risma dulu ya. Dia sedang di Jakarta jenguk Andre. Andre tolong titip Intan.” Kata kak Yudha.
Aku tercengang dengan sikap kak Yudha tersebut. Kenapa sih mesti dititipan sama Andre, aku kan bisa sendiri.
“Bang, ini duitnya.” Ucapku langsung pergi meninggalkan Andre.
“Eh, mau kemane lu Ntan?” tanya Andre tiba-tiba.
“Bukan urusan lu.” Jawabku jutek.
Aku langsung pergi dan Andre berlari menyusulku. Tiba-tiba dia menghadang perjalananku dan memegang kedua lenganku.
“Oke, gue mau ngomong sama lu. Bisa kan kita ngomong baik-baik aja?” tanyanya.
Aku melihat matanya, seolah-olah dia memang ingin berbicara sesuatu padaku. Aku pun terima ajakannya. Kami pun pergi ke taman dekat sekolah dan duduk disana berdua. Andre pun mengawali pembicaraannya.
“Ntan, gua tau. Gua salah dari awal galak sama lu. Makanya lu kayanya benci banget dah sama gua. Kak Yudha nitipin lu ke gua, ya gua ngerasa bertanggung jawab buat jagain lu.” Ucapnya. Awalnya aku ragu, tapi… “Ntan, lu tau gak? Semenjak gua sering jalan bareng sama lu, gua ngerasa kalau lu cewe yang manis dan baik. Gak seperti yang gua bayangin awalnya.” Ucapnya lagi.
“Halahh ngegombal. Males banget.” Kataku jutek.
“Gua gak gombal, gua tulus sama omongan gua. Gua tanya-tanya sama kak Yudha juga tentang lu. Dan apa yang di omongin kak Yudha beda jauh kaya yang gua fikirin. Itulah kenapa gua merasa kalo gua suka sama lu, gua cinta sama lu.” Ucapnya.
Aku sempat kaget dan terkejut dengan apa yang dikatakan Andre padaku. Tidak percaya apa yang di katakannya. “Lu boong, ngigo lu ndre. Udah gua mau pulang.” Kataku.
“Ntan, Andre tulus kok sayang sama Intan. Dia ngeintrograsi kakak terus nih. Tanya-tanya tentang Intan.” Tiba-tiba kak Yudha datang bersama dengan kak Risma pacarnya. “Lagian, gak ada salahnya kan? Meski Andre sifatnya gak sama kaya Rama, tapi wajah dia mirip seperti Rama.” Ucapnya lagi.
Aku masih tetap terdiam, belum memberi jawaban apapun. Dalam benakku “Aku memiliki kak Yudha yang mempunyai sifat hampir sama seperti kak Rama. Tapi wajah kak Yudha berbeda jauh dari kak Rama. Sedangkan Andre teman satu kelasku, dia wajahnya mirip seperti kak Rama, dan aku seperti menemukan sosok kembali kak Rama dalam 2 orang yang berbeda.” “Ndre, maafin gua ya. Gua bingung mesti jawab gimana. Tapi gua seneng gua bener-bener nemuin sosok kak Rama meski dari dalam 2 orang yang berbeda. Kak Yudha dan lu. Thanks banget yaa. Dan gua mau jadi cewe lu.” Jawabku padanya.
Pada akhirnya aku pun bahagia karena mereka slalu membuatku bahagia, dan aku merelakan kepergian kak Rama untuk selamanya. Namun hatiku tetap hanya ada kak Rama tercinta. [selesai].

*30 Agustus 2010*
Share: