kalo tulisan ini emang gue sengaja repost lagi gitu.. lo tau? Ini semacam karangan gue yang pertama *my first shortstory* hahaaa entahlah gue dapet inspirasi darimana yang jelas gue lupa. Gue beneran lupa!! pasword tumblr ajee gue lupa!! *kenapa masih ngebahas pasword tumblr cobaaaaa* ~aaaaaaaakkkk~
Aku berjalan menelusuri Taman Kota. Ku lihat bunga sudah tumbuh bermekaran. Lalu, kucium bunga tersebut. Aku melangkah mendekati seseorang yang duduk dibawah pohon beringin nan rindang. Lalu, pelan-pelan kudekati ia dari belakang, tiba-tiba ia tersentak dengan kedatanganku.
“Rara…Jangan bercanda!!! Aku tau kalau yang dibelakang itu kamu.” Ucapnya. Aku masih tetap berjalan perlahan-lahan, lalu aku langsung menutup matanya dari belakang. “Dor…tebak. Aku siapa!!!” kataku dengan suara yang dibuat-buat.
“Udah donx Ra, aku tau itu kamu. Ngaku aja deh…udah keliatan, itu suara buatan Rara…” ujarnya.
“Hehe…tau aja si kamu. Kalo ini Rara?!” ucapku lagi sambil melepaskan tanganku dari mata Genida.
“Ra, aku punya syair lagu baru. Ngga tau si, bagus apa ngga?” kata Genida.
“Aku yakin, pasti kalau syair itu dibuat oleh kamu, pasti bakalan keren dan bagus banget!!!” ungkapku.
“Huh…sukanya deh, membangga-banggakan aku. Emang ngga ada lagi ya selain membanggakan aku?” tanya Geni.
“Ngga ada!!! Soalnya aku sayang banget sama kamu…!!!” ungkapku lagi.
Genida adalah sahabatku sejak aku duduk di bangku TK, aku selalu bersama dengan dirinya hingga sekarang aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Dia sangat pintar bernyanyi, membaca puisi dan membuat syair lagu dari puisinya. Sudah banyak lomba yang dimenangkan oleh dirinya, aku sungguh salut dan bangga memiliki teman seperti Genida.
Aku lalu berdiri dan mendorong kursi roda Genida. Karena kaki Genida memang lumpuh sejak beberapa bulan yang lalu. Aku slalu menyemangati dirinya karna dia slalu berputus asa, sama seperti diriku yang slalu menyemangati diriku sendiri.
“Gen, kita disini aja ya? Disini kan bagus banget…liat pemandangannya, kamu bisa berinspirasi membuat puisi lagi.” Kataku.
“Iya deh, disini aja.” Ucap Genida.
Genida slalu menemukan inspirasi dimanapun ia berada. Ketika aku sedang bermain gitar, aku melihat seorang laki-laki melihat kami bernyanyi dibalik pohon kelapa. Perlahan, laki-laki itu mendekati kami dan aku pura-pura tidak tau apa-apa.
“Hay, suaramu bagus banget…aku seneng bisa dengerin suaramu…” ungkap laki-laki itu.
Aku dan Genida sempat kaget dengan kedatangannya,
“Terima kasih…” balas Genida.
“Ohya, perkenalkan namaku Iwan. Kamu?” tanya Iwan sambil menjulurkan tangannya pada Geni.
“Aku Genida, panggil saja aku Geni. Ini sahabatku Rara.” Jawab Genida sembari memperkenalkan aku.
Aku hanya tersenyum padanya begitu juga sebaliknya.
“Eh, Gen, udah sore keburu malem. Pulang yuk? Ntar kamu dicariing lagi, sama om dan tante?” ajakku.
“Ya uda deh…!!!” kata Geni.
“Eh, boleh ngga aku nganterin kalian berdua pulang?” tanya Iwan.
Aku dan Geni saling lirik.
“Boleh…!!!” jawab Genida.
“Makasi ya…mmm…Ra, biar aku aja yang dorong kursi rodanya.
” Pinta Iwan. “Gimana Gen?” tanyaku pada Geni.
“Ngga usah Wan, biar Rara aja yang dorong. Soalnya, barangkali kamu belum terbiasa…” kata Geni.
“Nah…maka dari itu, biar aku terbiasa dorong kursi roda. Please…” Kata Iwan memohon.
“Ya udah deh…Ra, biar Iwan aja!” kata Genida.
Dalam perjalanan pulang, aku hanya dibelakang Geni dan Iwan. Aku merasa asing diantara mereka berdua. “Sepertinya, Iwan suka sama Genida?” ungkapku dalam hati.
“Ra…sini…jangan ngelamun terus. Ntar nabrak loch.” Panggil Genida.
“Eh iya…!!! Mmmm…Gen, aku mau ke warung bentar terus sekalian mau pulang langsung. Kamu kan udah ada yang nganter. Jadi kamu pulang sama Iwan aja ya Gen?” ucapku.
“Loh…kok gitu? Ngga Ra, ntar biar kamu juga di anter sama Iwan. Ya kan Wan?” tanya Geni pada Iwan.
Iwan hanya mengangguk tersenyum.
“Ngga usah lah…Gen. Wan, aku pokoknya percaya banget sama kamu. Jaga Genida ya, harus sampai rumah!!!” pesanku.
Lalu, aku berjalan ke arah warung. Itu hanya alasanku, karna aku merasa asing di antara mereka. Saat aku melamun dalam perjalanan, aku dihadang dan ditodong oleh orang yang tidak aku kenal.
“Cewe…jalan sendirian? Abang temenin ya neng?” kata salah satu dari mereka.
Aku hanya terdiam dan terus berjalan. Namun, mereka tetap mengikutiku dan menarikku
“Heh…serahkan dompetmu!!!” kata orang yang berambut gondrong.
Aku berteriak meminta tolong. Tiba-tiba Iwan muncul dan langsung menghajar gerombolan-gerombolan tersebut. Setelah perkelahian selesai, aku pun di tuntun Iwan pulang.
“Apa yang dibilang Genida bener kan? Kenapa kamu memisahkan diri?” tanya Iwan.
Aku terdiam.
“Ra, kamu jangan memalingkan muka padaku donx Ra… kamu kenapa si, slalu menghindar dariku?” tanya Iwan lagi.
Aku masih terdiam.
“Ra…aku tanya sama kamu. Jawab pertanyaanku donx Ra!!!” bentak Iwan padaku.
“Oh…ternyata kamu masih peduli sama aku? Lewat Genida? Kamu merayu dia kan? Kamu jangan pikir aku mau balikan lagi sama kamu.” Jawabku dengan emosi.
Sebenarnya, aku dan Iwan adalah teman satu sekolah. Namun, Genida tidak tau Iwan adalah mantan pacarku. Karena aku dan Genida tidak satu sekolah. Dia melihatku bernyanyi bersama Genida di dekat Taman. Tapi, aku pura-pura tidak mengenal Iwan.
“Kenapa kamu, tadi pura-pura tidak mengenaliku?” tanya Iwan.
“Buat apa? Buat apa aku kenal sama kamu lagi?” tanyaku balik.
“Kok kamu jawabnya kaya gitu? Aku ngga nyangka kamu bisa keras kepala kaya gini.” Kata Iwan.
“Terserah!!!” kataku sambil berlari pulang.
Iwan berteriak memanggil namaku. Tapi, aku pura-pura tidak mendengarnya.
***
Keesokan paginya, saat disekolah Iwan slalu menemuiku dan berkata ingin meminta maaf padaku.
“Ra, please maafin aku.” Kata Iwan. Aku hanya terdiam dan berjalan cepat untuk pulang sekolah.
Sore harinya saat aku sedang bersama Genida, Iwan datang lagi menemuiku dan Genida. Iwan hanya mengobrol dengan Genida dan aku hanya terdiam.
“Gen, biasanya kamu kemana aja?” tanya Iwan.
“Aku seringnya sih kesini bareng sama Rara. Dia kan sahabat yang paling baik yang pernah aku miliki. Aku beruntung banget loh, bisa punya sahabat kaya dia.” Jawab Genida melirikku.
“Apaan si Gen…biasa aja lagi…!!!” kataku senyum.
Iwan hanya melirikku dengan senyum, namun aku tidak membalas senyumnya. Aku lalu, mengajak Genida pulang. Dan Iwan pun slalu ada diantara kami berdua. Sejak saat itu, Iwan slalu datang menemuiku dan Genida di Taman.
Seperti biasa, pulang sekolah aku slalu bersiap untuk pergi ke Taman. Kali ini aku terlambat, karena kebetulan ada kegiatan di sekolahku. Aku ganti baju dengan gugup, dan berlari menuju Taman sambil membawa gitarku. Tiba-tiba orang yang aku temui dan biasa duduk dibawah pohon tesebut tidak ada. Hanya ada kursi di bawah sana.
“Mana Geni ya? Masa si, dia belum datang? Padahal aku kan benar-benar terlambat banget…tumben banget!!!” pikirku sambil duduk.
“Apa…jangan-jangan dia marah kali ya sama aku. Gara-gara aku datang terlambat?” pikirku lagi. 10 menit bahkan sampai 45 menit Genida tak muncul-muncul juga. Dan, aku melihat Iwan dari jauh berlari mendatangiku.
“Ra, bisa ikut aku sebentar ga?” ajak Iwan.
“Kemana? Ngga!!! Aku lagi nungguin seseorang.” Jawabku jutek.
“Ra, kamu nungguin siapa? Cowo baru kamu?” tanya Iwan lagi.
“Kamu mau tau aja deh.” Jawabku lagi marah.
“Ra, dari pada kamu nungguin orang yang ngga dateng-dateng mending kamu ikut aku aja.” Ajak Iwan.
“Aku kan udah bilang, kalo aku ngga mau ikut kamu…” bentakku.
“Ra, ini sahabat kamu. Geni!!!” balas Iwan membentakku.
Aku langsung terdiam dan berpikir ‘Ada apa dengan Geni?’. “Emang, Geni kenapa?” tanyaku penasaran.
“Ya udah…pokoknya sekarang, kamu ikut aku aja. Yuk…” ajak Iwan sambil menarikku dari tempat duduk yang berada di taman.
Aku dan Iwan berlari sambil bergandengan menuju kerumah Geni. Sesampainya disana, aku melihat orang tua Geni terutama mamahnya sedang menangis terisak-isak.
“Tante, ada apa?” tanyaku pada mamah Geni yang duduk di kursi.
“Geni, Ra!!! Geni…” kata mamah Geni gagap.
“Iya tante, memang ada apa dengan Geni?” tanyaku tambah penasaran.
“Geni…sakit. Dia sakit kanker kata dokter sudah nyawanya sudah sulit untuk diselamatkan lagi.” Jawab mamah Geni.
“APA!!!” aku tersentak dan benar-benar kaget. Ragaku seperti tidak bisa menerima ini semua. Genida sahabatku. Kenapa dia tidak pernah cerita bahwa dia mengidap penyakit ganas seperti itu. “Geni…kanker? Sakit?” kataku tergagap.
Air mataku langsung menitih dan aku langsung memeluk Iwan. Aku masuk ke dalam kamar Geni. Geni hanya terbaring lemah di kasurnya. Ia melihatku dan tersenyum.
“Hai Ra!!!” sapanya. Aku melangkah menuju dirinya dengan pelan-pelan.
“Gen, kenapa kamu tidak pernah bilang masalah ini?” tanyaku. Geni hanya tersenyum.
“Buat apa bilang? Kalo aku bilang, malah semakin membuat sedih orang yang ada didekatku.” Jawabnya.
“Tapi, setidaknya aku kasi tau dong Gen…kalo kaya gini, aku malah tambah sedih banget…” kataku.
“Udahlah…lagian, sekarang kamu udah tau kan?” tanya Geni dengan senyum.
Ia melirik ke Iwan dengan senyum lalu melirik padaku. “Hayo…ada yang disembunyiin juga kan dari kamu?” tanya Geni.
“Apaan?!! Aku slalu jujur sama kamu, aku ngga pernah bohong sama kamu kan Gen?” tanyaku balik.
“GA!!! Yang ini, kamu ngga pernah jujur sama aku. Iwan, pacar kamu dulu kan?” tanya Geni lagi.
Aku tersentak kaget sambil melihat ke arah Iwan.
“Tau ngga Ra, Iwan deket sama aku soalnya dia pengen balikan lagi sama kamu. Dia pengen aku bujuk kamu supaya kamu balikan lagi sama dia. Pleas Ra, kasih dia kesempatan yang kedua kalinya. Ini permintaan terakhir aku.” Kata Geni.
“Ngga Gen, kamu ngga boleh ngomong kaya gitu. Pleas jangan bilang kaya gitu lagi sama aku.” Pintaku.
“Ra, ini memang udah akhir hidupku. Jadi, jangan kecewain aku. Pleas kamu balikan lagi sama Iwan. Iwan udah berubah, dia ngga kaya dulu lagi. Pleas…” Pinta Genida memohon.
Aku lagi-lagi memandang ke arah Iwan. “Baiklah…aku beri dia kesempatan sekali lagi.” Kataku akhirnya.
Genida tersenyum. “Oya Ra, nih tolong kita nyanyi bareng-bareng ya sekarang? Itu permintaanku.” Pinta Genida memberikan selembar syair lagu padaku.
Aku lalu, bermain gitar dan Genida bernyanyi. Walaupun ia sakit, suaranya masih tetap bagus seperti dulu. Tiba-tiba suara Genida melemah bahkan tak terdengar suaranya lagi. Matanya langsung tertutup. Dan aku langsung menghentikan permainan gitarku. Pelan-pelan aku membangunkan Genida,
“Gen…Gen…Genida…bangun…katanya pengen nyanyi bareng lagi sama aku. Pleas Gen jangan bercanda. Aku ngga suka kamu bercanda kaya gini…” kataku sambil menangis. “Gen…pleas bangun…pleas. Gen, Gen, Geni… kamu jahat, kamu ninggalin aku dengan cara kaya gini? Kamu jahat!!!” teriakku sambil menangis. Aku memeluk Iwan dengan terisak-isak. Mamah, papah Geni dan Dokter pun datang, dan kata dokter Genida sudah tiada, dia sudah tak terselamatkan lagi.
Itulah nyanyian terakhir Genida. Burung yang berkicau indah sekarang sudah tiada. Sahabat yang slalu didekatku pun dia tlah hilang dan pergi untuk selamannya.