17 April 2016

Sahabat Penaku

Jumat lalu, 15 April 2016.

Anak-anak kelas 3 mendapatkan balasan surat dari sahabat pena mereka. Hari ini jadwal kami belajar bahasa Indonesia. Saya pikir wah kebetulan lah, kalau saya membagikan surat hari ini.

Ketika saya masuk kelas, sembari membawa kantong berisi amplop. Mereka menyambut dengan senyum sesumbar yang bahagia. Menantikan surat balasan mereka, yang sebelumnya telah kami kirimkan terlebih dahulu ke Sekolah Global Mandiri di Cibubur.

"Ibu... Surat kami kah itu Ibu?" Tanya mereka
"Menurut kalian?" Tanya saya balik
"Horeeeee...." teriak mereka bahagia.

Saya pun langsung membuka bungkusan plastik yang berasa surat-surat tersebut dan langsung membagikannya kepada anak-anak. Di bagian depan amplop sudah tertera nama mereka masing-masing, sehingga saya hanya langsung memanggil nama anak saja yang tertera di kertas amplop tersebut.

Beberapa anak telah mendapatkan surat, bahkan ada satu anak yang mendapatkan surat lebih dari satu, dua tiga bahkan empat surat dari sahabat penanya. Saya pun bingung, entahlah mungkin di sana pun kebingungan karena kelas kami terlalu banyak murid yang mengirimkan surat. Sedangkan sekolah global mandiri satu kelas berjumlah sekitar 20 orang.

Well, beberapa anak sudah mulai dag dig dug entahlah. Mungkin mereka ada yang takut dan kecewa karena nama mereka belum dipanggil-panggil oleh saya. Dan memang benar, beberapa anak, mungkin sekitar 16 anak yang belum mendapatkan surat balasan. Sekitar 7 surat masih ada di tangan saya, namun beberapanya untuk anak yang memang hari itu tidak masuk sekolah dan beberapa surat tidak ada tertulis nama penerimanya. Sehingga, saya mulai berfikir bahwa saya bagikan saja suratnya untuk beberapa anak yang belum mendapatkan surat balasan.

Saat itu hanya ada 2 surat yang tidak ada nama penerimanya, sehingga saya harus memilih 2 orang dari 16 anak yang belum mendapatkan suratnya. Semua anak pun berebut ingin mendapatkannya. Akhirnya, saya pun memutar cara supaya mereka tidak berebut untuk dapat mendapatkan surat tersebut.

Saya memberikan tes perkalian kepada mereka. 2 orang yang menjawab benar, akan mendapatkan surat ini, dan mereka boleh membalasnya. Saya pun memberikan 2 soal perkalian, dan mereka antusias untuk menjawab pertanyaannya tersebut. Alhasil, yang mendapatkan surat tersebut adalah Daniel dan Mei. Karena mereka berdua menjawab dengan betul pertanyaannya.

Apa kabar yang lain?
Ah, mereka selalu saja membuatku merasa bersalah :( Dan akhirnya saya pun menawarkan kepada anak-anak:

"Anak-anak, kalian mau tidak untuk berbagi surat kepada teman kalian yang belum mendapatkan suratnya? Kan ada yang mendapat surat lebih dari satu kan?" Tanya saya
"Iya Bu! Kami mau berbagi surat kami ke teman-teman yang lainnya". Jawabnya.

Entahlah, rasa berbagi mereka sungguh luar biasa. Meskipun terkadang harus saya dulu yang memulai melakukannya. Namun, akhirnya mereka pun mengalah dan melakukan hal tersebut. Pernah suatu ketika, salah satu meja kami rusah parah. Akhirnya karna tidak ada yang mau berbagi, saya pun menawarkan untuk mengambil meja saya. Mereka pun tetap bilang "Ndak usahlah Ibu. Mereka duduk dekat kami saja. Kami bersama-sama meja juga di sini." Ucapnya.

Daaannn tadaaaa... mereka pun sudah mendapatkan surat semuanya. Bahagianya mereka meskipun di awal mereka agak sedikit kecewa, namun dengan cara seperti ini pun masih saja membuat mereka bahagia :)

Yey... Surat kami telah tiba :D

--KL, 17 April 2016--
--vidahasan--

Share:

Nisa Bukan Anak Nakal

*Cerita ini adalah salah satu cerpen yang dikarang sendiri oleh siswa saya kelas 6. Salma namanya. Saya memang sengaja memasukkan ke dalam blog ini, karena melihat Salma seperti melihat masa lalu saya. Suka menulis, namun belum ada media untuk menyimpan tulisan-tulisan saya ini. Semoga dengan adanya tulisan Salma di blog ini, dapat memberi motivasi anak-anak yang lainnya. So, check it out and enjoy this story*

NISA BUKAN ANAK NAKAL

Namaku: Annisa Madyiah, panggilanku Nisa. Aku anak kesayangan ayah dan ibu. Aku anak tunggal, tetapi dua bulan kemudian ibu mengandung. Pertama-tama aku merasa bahagia karena aku akan mempunyai adik seperti teman-temanku yang lain. Bermain bersama adik. Setelah Ibu melahirkan anak perempuan, aku menjadi merasa marah. Karena kehadiran adik, aku merasa kasih sayang orang tuaku berarti ke adik, dan aku diabaikan.

Biasanya jika aku berangkat sekolah aku dipakaikan baju sama mama. Sekarang tidak lagi, gara-gara adik, ibu selalu menyuruhku memakai pakaian sendiri. Aku rasanya tidak terurus sama mama dan papa. Mereka hanya sayang pada adik, sedangkan aku enggak. 10 tahun kemudian aku sudah berusia 12 tahun, adikku 5 tahun. Aku mungkin kelihatan enggak sayang sama adikku. Aku slalu marah adik, pukul adik, hari yang cerah aku enggak sekolah tapi adik membangunkanku. Aku sangat marah padanya, memukulnya hingga adik menangis.

"Ayah, Ibu... Aku dipukul sama kakak" Ayah dan ibu naik menuju kamarku.
"Nisa kenapa? Nisa kenapa selalu pukul adik, marah adik, dan bentak-bentak adik?"
"Pah, adik mengganggu. Aku lagi tidur."
"Pah, aku bangunin kakak, karen kakak menerima surat dari temannya."
"Bohong kamu? kamu sengaja kan supaya kakak dipukulin sama Papa?"
Aku berkelahi sama adik lagi.
"Sudah? Nisa memang nakal sekali. Papa selalu lihat kakak pukulin adik."
"Papa."
Papa selalu membela adik dan selalu marah Nisa. Papa dan adik keluar dan aku langsung mengunci pintu dari dalam sambil membanting diri ke kasur dan menangis.

Dalam hati aku berkata, kenapa papa dan mama sayang adik dan aku tidak? aku menangis tersedu-sedu sambil membayangi wajah adik. Aku marah dan membanting buku dan yang ada di dalam kamarku. Aku menangis dan tidak mau makan.

Setelah tangisanku reda, Papa mendapat kabar bahwa kakek meninggal. Aku sangat sedih dan "menangis hingga mataku bengkak. Cuma kakek yang mengerti perasaanku dan memahami diriku tanpa terasa, aku menangis terus. Aku merasa mataku perih, rasanya aku tidak melihat apa-apa dan aku pun pingsan dan dapat perawatan di rumah sakit. Dokter menyatakan bahwa aku buta, aku merasa sangat sedih.

Dalam hati aku berkata bahwa adik lah yang membuatku buta.

"Kamu puaskan lihat aku buta?"
"Enggak, kakak! Aku sangat merasa sedih dengan keadaan kakak"
Karena merasa bersalah adik, mendonorkan matanya. Setelah kakak enggak buta lagi, dia sangat bahagia tapi adiknya yang harus menderita.

 "Ibu, aku enggak buta lagi. Aku sudah bisa melihat lagi, ibu membawa adik. Adik memegang tongkat
 "Kakak.. Kakak uda sembuh?"
Dengan perlahan air mataku menetes melihat adik.

Mungkin selama ini aku jahat sama adik dan selalu salah kau. Aku sadar aku bukan kakak yang baik, aku sangat sedih dan aku menjadi merasa sangat bersalah terhadap adikku.

Aku memeluknya dengan erat dan meminta maaf pada adikku.
"Adik, kakak minta maaf sayang. Kakak sangat sayang kamu"
"Kakak, aku sangat sayang kakak dan bangga punya kakak seperti ini, cantik dan bergaya"
"Adik"

Aku sadar aku salah. Aku tidak akan pernah buat adik sedih lagi. Karena mata yang aku pakai adalah matanya dan hari ini adik tidak lagi sedih karena aku sangat menyayanginya dan kami menjadi keluarga yang saling menyayangi satu sama lain. Aku sadar, selama ini aku memang nakal dan tidak pernah menyadari kesalahan.

Aku buktikan bahwa aku bukan Nisa yang nakal seperti yang dulu. Aku adalah Annisa Madyiah. Aku bukan wanita yang tidak punya perasaan.

~SEKIAN~ 
Share:

15 April 2016

Pesiar ke Bukit Sion (2)

Sebelumnya saya pernah berbagi kisah saya ketika saya berpesiar ke daerah Bukit Sion. Cerita ini adalah bagian kedua dari pesiaran saya bersama dengan anak murid saya menuju bukit Sion.

Well, setelah seharian kemarin kami menelusuri hutan dan berenang di sungai bukit sion, saya kembali berjanji dengan anak murid saya untuk menuju ke atas lagi. Janji adalah janji, jadi harus ditepati sesegera mungkin. Tapi, kunjungan saya hari ini, bukan untuk berenang melainkan melakukan pendekatan lebih dalam lagi dengan orang tua yang rumahnya berada di balik bukit ini. Saya pergi lebih awal dari hari sebelumnya, karena sudah mengetahui medan menuju ke arah sana.

Terpenting buat saya adalah fisik dan mental. meskipun bukitnya memang tidak seberapa tapi karena sudah lama tidak menggerakkan kaki hingga naik ke atas sana, saya merasa memerlukan mental dan fisik tersebut. Dari awalnya ragu, saya pun yakin untuk bisa melanjutkan perjalanan hingga ke rumah mereka yang berada di balik bukit tersebut.

Bersama-sama dengan anak-anak bukit sion saya justru bukan melindungi mereka, tapi merekalah yang melindungi saya selama dalam perjalanan. "Ibu, saya bawakan tasnya sini Ibu!" Banyak anak yang mau membawakan barang bawaan saya. Tapi, apalah daya saya bahwa saya memang harus bisa berkata "tidak terima kasih!" karena ini juga salah satu pembelajaran untuk diri saya ini.

Dalam perjalanan saya yang kedua ini, cukup berkesan karena ada beberapa anggota tambahan yang juga ikut naik ke atas bukit sion. Meskipun tidak sama seperti hari sebelumnya, tapi kebahagiaan ini masih sama terasa. Entahlan, anak-anak inilah yang justru membuat saya semakin sadar, bahwa saya memang benar-benar ke sini hanya untuk mereka.

Sesampainya di sana, saya singgah di rumah mama Wati. Sebelumnya Mamak Daniel sudah memberi tahu saya bahwa, saya disarankan untuk mampir kembali ke rumah mereka. Namun, mereka sedang melakukan kerja bakti di gereja, sehingga saya pun tidak sempat berjumpa dengan mereka. Saya duduk sebentar sembari menghela nafas karena melakukan perjalanan yang cukup melelahkan :D

Mamak Wati, sudah menyiapkan makanan untuk kami. Kami hanya tinggal menikmatinya saja, saya bercakap dengan mamak Wati sembari menunggu anak-anak yang sedang berenang di sungai. Ya! mereka ke Bukit Sion tujuannya untuk berenang, berkali-kali mereka mengajak saya, namun saya tidak membawa perlengkapan berenang. Jadi, saya hanya duduk-duduk santai saja di rumah mamak Wati ini sembari menikmati singkong hasil kebun, bercakap dengan mereka, dan menikmati nasi hangat berlauk daun pepaya, bunga pepaya dan jantung pisang yang menurut saya sangat jarang didapat olahan ini di kota :D

Meskipun hanya sayur seperti itu, rasanya nikmaaaatt sekali. Padahal awalnya, saya tidak suka karna daun pepaya dan bunga pepaya pahitnya luar biasa. Tapi, dengan olahan tangan dari mamak Wati sayuran yang dikenal juga bisa sebagai obat ini pun rasanya sedaap dan ingin tambah dan tambah lagi :))

Sekitar pukul 4 sore anak-anak pun pulang dari berenang, dan saya sudah disiapkan oleh mereka buah tangan hasil kebun mereka. Ada singkong, daun singkong, daun pakis dan cabe. Rasanya semacam dari pasar. Banyak buah tangan yang didapat dari mereka.

Lagi-lagi, mereka yang slalu melindungi saya selama dalam perjalanan.

Ketika turunan, kami pun menunggu tumpangan pick up. Kata anak-anak "Biasanya Bu! ada pick up punya pak cik Bahar, terus kami numpang di mobilnya" Dari atas bukit kami sudah melihat mobil pick up berjalan menuju arah tikungan. Lalu, kami pun segera mengejarnya supaya kami mendapatkan tumpangan menuju ke rumah kami.

Saya kebetulan diantar oleh Wati, Weka, Ambala, Ata, dan Nurul. Mereka berjalan ke arah yang sama seperti saya, dan Wati pun juga akan menginap di rumah kami.

Kami sempat duduk di atas pondok yang berkayu dan sudah tidak terpakai lagi sembari menunggu mobil pick up lewat. Kami menunggu sekitar 15 menitan, Apalagi memang mereka lelah, maklum saja  setiap anak membawa oleh-olehnya untuk dibagikan ke orang tua mereka di rumah.

Alhamdulillah...

Tadaaaaa... petualangan kami pun masih tetap menyenangkan hari ini, Terima kasih my kiddos 

--9 Januari 2016--







Lourdes, 14 April 2016
-vidahasan- 
Share: