In the morning when I wake...
I woke up at 3 am and going to take a bath. Kalau nggak demikian pasti mengantri dengan tamu yang sedang menginap lainnya di rumah Pak Dastam. Awalnya, kami tidak ada berniat untuk menginap di rumah Pak Dastam, namun ternyata tubuh ini lunglai tak berdaya yang akhirnya aku, Audi dan beberapa teman lain ikut tumbang. Teman-teman lain, yang malam harinya berkunjung ke sesepuh adat tidak tega membangunkan kami yang sudah pulas tertidur. Selain, kami ada beberapa tamu dari dinas juga yang menginap di rumah Pak Dastam. Seru karena semakin malam orang berlalu lalang, aku pun tidur semacam kucing yang masih sering terbuka sedikit-sedikit matanya. hihihi
Setelah mandi dan beberes, pukul 05.30 kami menuju ke kampung budaya Jalawastu yang lokasinya lebih naik lagi dari tempat kami menginap. Sekitar 1 kilometer dari rumah Pak Dastam menuju tempat upacara adatnya. Setibanya kami di sana, sudah ramai berlalu lalang penduduk dan hmmm kampungnya sudah terlihat berbeda dari tahun 2020, waktu pertama dan terakhir kali aku melihatnya. Aku dan mbak Dewi mencoba merefleksikan apa yang berbeda di tahun ini dan tiga tahun yang lalu. Oohh... beberapa rumah yang saat itu sempat kami berfoto di depannya sudah tidak ada, rumah-rumah yang sekarang cukup warna-warni dan mencolok, bahkan jika boleh dibilang, dibanding tiga tahun lalu rumah-rumah tersebut sudah semakin lumayan modern meskipun masih menggunakan papan kayu. Hmmm...
Ekspektasiku menurun dengan kondisi demikian. Di tahun 2020 sebelum pandemi, aku dan mbak Dewi sempat datang berkunjung. Namun, karena kami datang telat dan tiba pukul 7 pagi akhirnya tertinggal melihat langsung upacara adat Ngasa-nya. Semua orang sudah kembali turun ke bawah, kami malah baru naik ke atas menuju Kampung Adatnya.
Nah, yang sangat sangat berbeda di tahun ini adalah seharusnya upacara adat sudah dimulai sejak pagi-pagi buta, saat datang ke sana pukul 6 pagi masih berasa sepi. Tempat masih belum penuh dengan masyarakat kampung. Dapat kabar, bahwa ternyata ada yang harus ditunggu dari Dinas/Pemerintah yang akan berkunjung ke kampung adat. Ealahh..
Saking bosannya, karena aku membawa kamera dan menjadi tim dokumentasi [dadakan] aku pun kembali turun ke bawah bersama dengan Audi. Lumayan lama menunggu di bawah atau gerbang masuk utama kampung Jalawastu, kurang lebih satu jam lamanya. And theeeennn... what I thought, waaasss different. That was out of my expectations. Karena oh karena rombongan yang ditunggu itu diiringi oleh drumband yang mana menurutku itu sudah sangat modern dan nggak menciri khaskan upacara adat. Kalau dengar dari Pak Dastam semalam, di Kampung Jalawastu gong dibunyikan saja sudah tidak diperbolehkan. And that was a drumband player. That shocked me!
Dulu ada yang namanya tumpengan besar yang dibawa bersama dengan rombongan, tapi yang terakhir aku temui tidak demikian. Bahkan yang sebelumnya aku sampaikan bahwa seharusnya protokoler yang mematuhi apa yang menjadi aturan adat ini malah kebalikannya. Duh nggak seseru itu ternyata. But yeaah nggak papa, jadi dapat insight dan cerita seru dari para sesepuh terutama om Heru nih. Asiiik ngobrol sama beliau yang tau banyak tentang kebudayaan.
Akhirnya karena di luar ekspektasi tersebut, kami berjalan kembali menuju parkiran di gerbang masuk. Ngopi, Ngemie, Ngobrol. Tapi saat sedang asik 3N dan akan beranjak kembali pulang, kami kehilangan satu orang yang jadi bagian rombongan kami. Yap! Si Samsuri masih tertinggal di atas, di lokasi tempat upacara adat. Sinyal tak kunjung hadir, lalu akhirnya aku dan mbak Dewi pun kembali menyusulnya ke lokasi upacara adat. Ehh dasar si Samsuri. Hihihi kalau nggak ngeboncengin mas Gusmo aja, juga udah ditinggal ini anak. Hwehehhe but it's okay. Everything will be alright.
Well, kita kembali ke sekelumit perjalanan pulangnya.
Setelah mengambil barang-barang yang kami tinggal di rumah Pak Dastam, kami meluncur turun "gunung". Om Jali dan Om Heru bercerita bahwa di sekitaran Desa sini ada sumber mata air yang dikenal agak keramat [anggap bahasanya demikian], namanya sumber mata air cipanas. Konon katanya, sumber mata air ini akan muncul jika waktu tertentu saja dan tidak semua orang dapat langsung menemukannya. Kami berkendara secara konvoi dengan beberapa sepeda motor. Aku, Audi, Pak Guru Aziz mendahului teman-teman yang lain. Saking keasikan dan tak melihat ke belakang akhirnya kami bingung setelah keluar gang pertama menuju kampung Jalawastu.
Berasa tadi teman-teman di belakang kami, kenapa sekarang jadi menghilang? Ditunggu tak kunjung muncul, yang pada akhirnya kami pun kembali masuk ke gang dan naik lagi menuju kampung Jalawastu. Rupa-rupanya, mas Gusmo dan teman-teman lain berhenti di salah satu tempat yang konon katanya itu merupakan sumber mata air cipanas tersebut. Untung saja, Samsuri dan beberapa rombongan lain dari teman-teman Ketanggungan sedang duduk menunggu motor yang sedang terparkir.
Aku, Audi dan Pak Guru Aziz pun menyusul teman-teman yang sudah turun. Kutelfon mbak Dewi dan aku diminta untuk terus menelusuri jejak sampai berjumpa dengan titik turunan menuju sungai. Yap! Ketemulah kami dengan teman-teman yang katanya pun tertinggal jejaknya dari Mas Gusmo, mbak Okta, mas Viktor dan Om Jali. Seruuu..
Sembari menunggu rombongan yang turun ke sungai naik kembali, kami pun berfoto ria. #eeaa
Mas Gusmo bercerita, bahwa saat mereka turun ke sungai mereka mengikuti seorang ibu yang baru selesai dari ladangnya. Jalannya cepat dan setelah menunjukkan tempat sumber mata airnya Ibu tersebut langsung pergi tanpa jejak. Entahlah katanya, tapi menurutnya Sumber Mata Air Cipanas ini memang muncul di waktu tertentu dan yang mencari memang mempunyai tujuan mulia maka mata air tersebut akan muncul dengan sendirinya. Mungkin hanya karena penasaran, jadi mata air tersebut tidak muncul dan mas Gusmo tidak bisa menemuinya. :')
Yasudah, kami pulang tentu saja tidak dengan tangan kosong. Kami pulang dengan membawa cerita seru yang pada akhirnya aku tulis di blog ini. :)
Well yeaah.. akhirnya hutang bercerita di Jalawastu selesai juga.
_vidahasan_