Yep! After looong break, I think that I should write again about my journey. It's not (so) my journey, but what I see, what I do, it makes better if I can share it to you with my (bad) writting. I'm not a writer, but I try and want to be a good writter or story teller. Na ja, even though I just did it and shared it in my (old) blog. So, let me share to you about my (our) journey went to Jalawastu almost more than months ago. (hmm I forgot that I want also to write in Deutsch). Ja ja ja...
So, here it is...
Be calm. I'll be write of course in Bahasa.
Aku akan bercerita menggunakan bahasaku yang mungkin lebih ke bahasa informal. Supaya, aku lebih nyaman menceritakannya.
Perjalanan ke Jalawastu ini sudah direncanakan sejak satu minggu saat Kak Sophie, mbak Dewi, Om Gusmo berkeliling ke wilayah Banjarharjo. Ekspedisi pertama dalam rangka project re-inviting Brebes. Sayangnya, di ekspedisi pertama ini aku tak bisa ikut karena kami harus berbagi tugas untuk jaga kandang. Tepat di hari yang sama karena ada jadwal Pojok Musik. Hanya khawatir kalau pulangnya terlalu larut.
Banyak cerita yang aku dapatkan dari sejarah-sejarah masa lalu di wilayah Brebes. Bahwa Brebes ternyata merupakan sebuah Universitas dimana banyak para raja-raja justru belajar di Kabupaten Brebes ini. Lalu, ada cerita bahwa Brebes merupakan salah satu Kabupaten yang biasa disebut Manusia Antara. Makna Manusia Antara ini aku dapatkan saat ikut menyimak diskusi pertama kali yang diikuti oleh Mas Gusmo, Mbak Ibe, Pak SS, Pak Azmi, Rara dan Kak Sophie. Menarique sekali mendengarkan mereka berdiskusi.. Sayangnya, aku tak sanggup melanjutkan karena sudah mulai human error kalo jam-jam setelah isya. hehehe
Tapi tenang, aku akan share link cerita menarik tentang Peristiwa Tiga Daerah. Ini ada temuan-temuan yang bisa dibaca dan seru bisa mengenal Brebes lebih dalam lagi...
Setelah berdiskusi panjang dan berkeliling ke Banjarharjo, tempat tujuan selanjutnya yaitu Jalawastu. Salah satu Kampung Budaya di Desa Cisereuh, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes. Jarak yang ditempuh kurang lebih 25km kalau dimulai dari Padepokan Kalisoga.
Kalau ditanya, why we are going to Jalawastu? Di sana setiap tahun sekali pada hari Selasa Kliwon antara tgl 1-7 Maret selalu diadakan upacara adat Ngasa. Upacara adat Ngasa ini merupakan sebuah upacara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas segala hal yang telah diberikan baik pangan, papan dan sandang.
Perjalanan ke Jalawastu ini dilaksanakan mulai tanggal 27 Februari dan di sore hari. Aku bersama yang lainnya menginap satu malam di sana. Alasannya karena, Upacara Ngasa ini dilaksanakan di pagi hari mulai pukul 06.00. Jadi, supaya tidak tertinggal upacara sakralnya kami memutuskan untuk melakukan perjalanan di sore hari sekitar pukul 16.30.
Adalah aku, mbak Dewi, mas Gusmo, mbak Okta, Samsuri, Audi, mas Aziz beserta istri dan anaknya yang berangkat dari Slatri/Padepokan Kalisoga. Di Desa Buara, tepatnya di Bendungan Cisadap kami bertemu dengan rombongan Losari yang sudah menunggu di sana. Setelah berjumpa, kami berhenti, beristirahat sejenak sekitar 5-10 menit lalu melanjutkan perjalanan kembali.
Tim Losari yang ikut dalam ekspedisi ini yaitu mas Dani, mas Viktor, mas Burhan, om Jali dan om Heru, Mereka merupakan para penggerak literasi di wilayah Losari dan sering berdiskusi dengan kami di Padepokan Kalisoga (kecuali om Jali dan om Heru, karena aku baru berjumpa dengannya). Rombongan pun menjadi banyak berjumlah 13 orang (plus gadis kecil berusia empat tahun).
Perjalanan yang kami tempuh sangat seru. Kami melewati toang/sawah hijau, Desa Cikeusal yang jalannya uhuy ulala, lalu melewati hutan dari ada sinyal hingga tak ada sinyal sekalipun, beberapa ruas jalan yang terkena longsor dan becek hingga aku yang dibonceng oleh Audi harus turun dari motor karena takut terpeleset. Lalu, tambah lagi naik turun jalan yang berbukit tanpa ada listrik atau lampu dimana-mana.
Akhirnya, kami pun tiba di rumah Pak Dastam. Beliau merupakan mantan ketua adat di kampung budaya Jalawastu. Disambut dengan hangat dan ramah, serta berjumpa dengan Pak Wijanarto. Pak Wijan merupakan Ketua Dewan Kesenian di Kabupaten Brebes. Beberapa kali sering berjumpa dengan beliau, bahkan sempat menjadi narasumber di program Padepokan Kalisoga.
Setelah meminta izin ke toilet, bersalaman dengan para tamu yang sudah hadir terlebih dulu, sejenak kami melepas lelah dan berchit chat sebentar. Pak Dastam menawarkan makan malam yang sudah tersaji di atas meja dengan beberapa menu khas saat acara upacara adat ngasa. Ada dedaunan semacam poh-pohan [lupa lagi nama daunnya apa], ada ayam goreng, ada tumis tempe, tahu tempe, lepet, opor ayam dan beberapa sajian lainnya. Dari ceritanya Pak Dastam, mumpung malam ini masih diperbolehkan makan daging jadi, kami sajikan daging. Besok orang-orang yang ikut upacara adat sudah tidak diperbolehkan makan daging dan harus menu nabati.
Setelah makan malam, kami ngobrol seru dengan tuan rumah, yaitu Pak Dastam. Pak Dastam bercerita banyak hal tentang upacara Adat Ngasa, kebudayaan di kampung Jalawastu juga. Menurutnya, dulu kampung Jalawastu tidak seperti ini, jauh dari kata modern. Tidak diperbolehkan ada bangunan batu dan harus terbuat dari papan kayu. Alasannya karena para leluhur memang masih belum mengizinkan bangunan batu masuk ke dalam kampung adat. Namun, seiring berjalannya waktu, ada beberapa bagian di Jalawastu yang akhirnya terbangun bangunan yang didirikan. Hal ini dikarenakan, masuknya pendidikan di kampung kebudayaan tersebut sehingga bangunan berbatu pun mulai tumbuh di sana.
Selain itu, kampung Jalawastu sudah mulai dikenal oleh banyak orang bahkan termasuk salah satu tempat wisata kebudayaan yang tercantum sebagai salah satu destinasi wisata di Kabupaten Brebes. Akhirnya, "rasa kepemilikan" kampung Jalawastu pun ditarik ulur oleh masyarakat adat dan pemerintah di Kabupaten Brebes. Sejak tahun berapa pun pada akhirnya kampung Jalawastu sebagai destinasi wisata saya jujur masih harus mencari informasinya kembali.
Setelah bercerita dengan Pak Dastam, ada pagelaran seni di lapangan dekat rumah Pak Dastam. Saya pun menuju ke sana sambil mendokumentasikan acaranya. Pagelaran Kolak Janda ini bercerita tentang kehidupan masyarakat di Kampung Jalawastu pada masa lampau. Saya lupa-lupa ingat, tapi pagelaran ini cukup unik dengan dekorasi dan perlengkapan yang bikin mesem-mesem. Selain itu, diiringi juga dengan gamelan atau alat musik khas sunda yang menarik.
Tak bertahan lama, saya kembali menuju rumah Pak Dastam. Saya memulai merebahkan diri karena lelah menempuh perjalanan yang lumayan. Audi sudah tepar terlebih dahulu sebelum yang lainnya, bahkan saya undur diri dari obrolan karena tak kuasa menahan kantuk. Kawan-kawan yang lain masih terus berupaya untuk mencari tahu tentang kebudayaan di kampung Jalawastu tersebut. Mereka pergi ke sesepuh adat yang benar-benar asli dari Kampung tersebut.
Menurut cerita dari Mbak Dewi, beliau merupakan sesepuh adat asli yang merupakan turunan langsung dari ketua adat yang lama. Ada permainan politik selama, kampung budaya Jalawastu diambil alih oleh Pemerintah. Banyak kejadian-kejadian unik yang terjadi, contohnya adalah upacara yang seharusnya dilaksanakan setelah shubuh tepat harus menunggu protokoler. Seharusnya, sebagai kampung adat protokoler yang harus patuh dengan aturan adat bukan adat yang patuh terhadap protokoler.
Ini menarik untuk ditelaah lebih jauh kembali. Jadi, sebenernya ada apa dengan perubahan yang terjadi di Kampung Jalawastu? Apakah teriming-imingi jabatan? hmmm
Let see what will happen in the morning...
_vidahasan_