Showing posts with label Short Story. Show all posts
Showing posts with label Short Story. Show all posts

15 December 2011

Nyanyian Burung Terakhir


Aku berjalan menelusuri Taman Kota. Ku lihat bunga sudah tumbuh bermekaran. Lalu, kucium bunga tersebut. Aku melangkah mendekati seseorang yang duduk dibawah pohon beringin nan rindang. Lalu, pelan-pelan kudekati ia dari belakang, tiba-tiba ia tersentak dengan kedatanganku.
“Rara…Jangan bercanda!!! Aku tau kalau yang dibelakang itu kamu.” Ucapnya. Aku masih tetap berjalan perlahan-lahan, lalu aku langsung menutup matanya dari belakang. “Dor…tebak. Aku siapa!!!” kataku dengan suara yang dibuat-buat.
“Udah donx Ra, aku tau itu kamu. Ngaku aja deh…udah keliatan, itu suara buatan Rara…” ujarnya.
“Hehe…tau aja si kamu. Kalo ini Rara?!” ucapku lagi sambil melepaskan tanganku dari mata Genida
“Ra, aku punya syair lagu baru. Ngga tau si, bagus apa ngga?” kata Genida.
“Aku yakin, pasti kalau syair itu dibuat oleh kamu, pasti bakalan keren dan bagus banget!!!” ungkapku.
“Huh…sukanya deh, membangga-banggakan aku. Emang ngga ada lagi ya selain membanggakan aku?” tanya Geni.
“Ngga ada!!! Soalnya aku sayang banget sama kamu…!!!” ungkapku lagi.
Genida adalah sahabatku sejak aku duduk di bangku TK, aku selalu bersama dengan dirinya hingga sekarang aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Dia sangat pintar bernyanyi, membaca puisi dan membuat syair lagu dari puisinya. Sudah banyak lomba yang dimenangkan oleh dirinya, aku sungguh salut dan bangga memiliki teman seperti Genida.
Aku lalu berdiri dan mendorong kursi roda Genida. Karena kaki Genida memang lumpuh sejak beberapa bulan yang lalu. Aku slalu menyemangati dirinya karna dia slalu berputus asa, sama seperti diriku yang slalu menyemangati diriku sendiri.
“Gen, kita disini aja ya? Disini kan bagus banget…liat pemandangannya, kamu bisa berinspirasi membuat puisi lagi.” Kataku.
“Iya deh, disini aja.” Ucap Genida.
Genida slalu menemukan inspirasi dimanapun ia berada. Ketika aku sedang bermain gitar, aku melihat seorang laki-laki melihat kami bernyanyi dibalik pohon kelapa. Perlahan, laki-laki itu mendekati kami dan aku pura-pura tidak tau apa-apa.
“Hay, suaramu bagus banget…aku seneng bisa dengerin suaramu…” ungkap laki-laki itu.
Aku dan Genida sempat kaget dengan kedatangannya,
“Terima kasih…” balas Genida.
“Ohya, perkenalkan namaku Iwan. Kamu?” tanya Iwan sambil menjulurkan tangannya pada Geni.
“Aku Genida, panggil saja aku Geni. Ini sahabatku Rara.” Jawab Genida sembari memperkenalkan aku.
Aku hanya tersenyum padanya begitu juga sebaliknya.
“Eh, Gen, udah sore keburu malem. Pulang yuk? Ntar kamu dicariing lagi, sama om dan tante?” ajakku.
“Ya uda deh…!!!” kata Geni.
“Eh, boleh ngga aku nganterin kalian berdua pulang?” tanya Iwan.
Aku dan Geni saling lirik.
“Boleh…!!!” jawab Genida.
“Makasi ya…mmm…Ra, biar aku aja yang dorong kursi rodanya.
” Pinta Iwan. “Gimana Gen?” tanyaku pada Geni.
“Ngga usah Wan, biar Rara aja yang dorong. Soalnya, barangkali kamu belum terbiasa…” kata Geni.
“Nah…maka dari itu, biar aku terbiasa dorong kursi roda. Please…” Kata Iwan memohon.
“Ya udah deh…Ra, biar Iwan aja!” kata Genida.
Dalam perjalanan pulang, aku hanya dibelakang Geni dan Iwan. Aku merasa asing diantara mereka berdua. “Sepertinya, Iwan suka sama Genida?” ungkapku dalam hati.
“Ra…sini…jangan ngelamun terus. Ntar nabrak loch.” Panggil Genida.
“Eh iya…!!! Mmmm…Gen, aku mau ke warung bentar terus sekalian mau pulang langsung. Kamu kan udah ada yang nganter. Jadi kamu pulang sama Iwan aja ya Gen?” ucapku.
“Loh…kok gitu? Ngga Ra, ntar biar kamu juga di anter sama Iwan. Ya kan Wan?” tanya Geni pada Iwan.
Iwan hanya mengangguk tersenyum.
“Ngga usah lah…Gen. Wan, aku pokoknya percaya banget sama kamu. Jaga Genida ya, harus sampai rumah!!!” pesanku.
Lalu, aku berjalan ke arah warung. Itu hanya alasanku, karna aku merasa asing di antara mereka. Saat aku melamun dalam perjalanan, aku dihadang dan ditodong oleh orang yang tidak aku kenal.
“Cewe…jalan sendirian? Abang temenin ya neng?” kata salah satu dari mereka.
Aku hanya terdiam dan terus berjalan. Namun, mereka tetap mengikutiku dan menarikku
“Heh…serahkan dompetmu!!!” kata orang yang berambut gondrong.
Aku berteriak meminta tolong. Tiba-tiba Iwan muncul dan langsung menghajar gerombolan-gerombolan tersebut. Setelah perkelahian selesai, aku pun di tuntun Iwan pulang.
“Apa yang dibilang Genida bener kan? Kenapa kamu memisahkan diri?” tanya Iwan.
Aku terdiam.
“Ra, kamu jangan memalingkan muka padaku donx Ra… kamu kenapa si, slalu menghindar dariku?” tanya Iwan lagi.
Aku masih terdiam.
“Ra…aku tanya sama kamu. Jawab pertanyaanku donx Ra!!!” bentak Iwan padaku.
“Oh…ternyata kamu masih peduli sama aku? Lewat Genida? Kamu merayu dia kan? Kamu jangan pikir aku mau balikan lagi sama kamu.” Jawabku dengan emosi.
Sebenarnya, aku dan Iwan adalah teman satu sekolah. Namun, Genida tidak tau Iwan adalah mantan pacarku. Karena aku dan Genida tidak satu sekolah. Dia melihatku bernyanyi bersama Genida di dekat Taman. Tapi, aku pura-pura tidak mengenal Iwan.
“Kenapa kamu, tadi pura-pura tidak mengenaliku?” tanya Iwan.
“Buat apa? Buat apa aku kenal sama kamu lagi?” tanyaku balik.
“Kok kamu jawabnya kaya gitu? Aku ngga nyangka kamu bisa keras kepala kaya gini.” Kata Iwan.
“Terserah!!!” kataku sambil berlari pulang.
Iwan berteriak memanggil namaku. Tapi, aku pura-pura tidak mendengarnya.

***

Keesokan paginya, saat disekolah Iwan slalu menemuiku dan berkata ingin meminta maaf padaku.
“Ra, please maafin aku.” Kata Iwan. Aku hanya terdiam dan berjalan cepat untuk pulang sekolah.
Sore harinya saat aku sedang bersama Genida, Iwan datang lagi menemuiku dan Genida. Iwan hanya mengobrol dengan Genida dan aku hanya terdiam.
“Gen, biasanya kamu kemana aja?” tanya Iwan.
“Aku seringnya sih kesini bareng sama Rara. Dia kan sahabat yang paling baik yang pernah aku miliki. Aku beruntung banget loh, bisa punya sahabat kaya dia.” Jawab Genida melirikku.
“Apaan si Gen…biasa aja lagi…!!!” kataku senyum.
Iwan hanya melirikku dengan senyum, namun aku tidak membalas senyumnya. Aku lalu, mengajak Genida pulang. Dan Iwan pun slalu ada diantara kami berdua. Sejak saat itu, Iwan slalu datang menemuiku dan Genida di Taman.
Seperti biasa, pulang sekolah aku slalu bersiap untuk pergi ke Taman. Kali ini aku terlambat, karena kebetulan ada kegiatan di sekolahku. Aku ganti baju dengan gugup, dan berlari menuju Taman sambil membawa gitarku. Tiba-tiba orang yang aku temui dan biasa duduk dibawah pohon tesebut tidak ada. Hanya ada kursi di bawah sana.
“Mana Geni ya? Masa si, dia belum datang? Padahal aku kan benar-benar terlambat banget…tumben banget!!!” pikirku sambil duduk.
“Apa…jangan-jangan dia marah kali ya sama aku. Gara-gara aku datang terlambat?” pikirku lagi. 10 menit bahkan sampai 45 menit Genida tak muncul-muncul juga. Dan, aku melihat Iwan dari jauh berlari mendatangiku.
“Ra, bisa ikut aku sebentar ga?” ajak Iwan.
“Kemana? Ngga!!! Aku lagi nungguin seseorang.” Jawabku jutek.
“Ra, kamu nungguin siapa? Cowo baru kamu?” tanya Iwan lagi.
“Kamu mau tau aja deh.” Jawabku lagi marah.
“Ra, dari pada kamu nungguin orang yang ngga dateng-dateng mending kamu ikut aku aja.” Ajak Iwan.
“Aku kan udah bilang, kalo aku ngga mau ikut kamu…” bentakku.
“Ra, ini sahabat kamu. Geni!!!” balas Iwan membentakku.
Aku langsung terdiam dan berpikir ‘Ada apa dengan Geni?’. “Emang, Geni kenapa?” tanyaku penasaran.
“Ya udah…pokoknya sekarang, kamu ikut aku aja. Yuk…” ajak Iwan sambil menarikku dari tempat duduk yang berada di taman.
Aku dan Iwan berlari sambil bergandengan menuju kerumah Geni. Sesampainya disana, aku melihat orang tua Geni terutama mamahnya sedang menangis terisak-isak.
“Tante, ada apa?” tanyaku pada mamah Geni yang duduk di kursi.
“Geni, Ra!!! Geni…” kata mamah Geni gagap.
“Iya tante, memang ada apa dengan Geni?” tanyaku tambah penasaran.
“Geni…sakit. Dia sakit kanker kata dokter sudah nyawanya sudah sulit untuk diselamatkan lagi.” Jawab mamah Geni.
“APA!!!” aku tersentak dan benar-benar kaget. Ragaku seperti tidak bisa menerima ini semua. Genida sahabatku. Kenapa dia tidak pernah cerita bahwa dia mengidap penyakit ganas seperti itu. “Geni…kanker? Sakit?” kataku tergagap.
Air mataku langsung menitih dan aku langsung memeluk Iwan. Aku masuk ke dalam kamar Geni. Geni hanya terbaring lemah di kasurnya. Ia melihatku dan tersenyum.
“Hai Ra!!!” sapanya. Aku melangkah menuju dirinya dengan pelan-pelan.
“Gen, kenapa kamu tidak pernah bilang masalah ini?” tanyaku. Geni hanya tersenyum.
“Buat apa bilang? Kalo aku bilang, malah semakin membuat sedih orang yang ada didekatku.” Jawabnya.
“Tapi, setidaknya aku kasi tau dong Gen…kalo kaya gini, aku malah tambah sedih banget…” kataku.
“Udahlah…lagian, sekarang kamu udah tau kan?” tanya Geni dengan senyum.
Ia melirik ke Iwan dengan senyum lalu melirik padaku. “Hayo…ada yang disembunyiin juga kan dari kamu?” tanya Geni.
“Apaan?!! Aku slalu jujur sama kamu, aku ngga pernah bohong sama kamu kan Gen?” tanyaku balik.
“GA!!! Yang ini, kamu ngga pernah jujur sama aku. Iwan, pacar kamu dulu kan?” tanya Geni lagi.
Aku tersentak kaget sambil melihat ke arah Iwan.
“Tau ngga Ra, Iwan deket sama aku soalnya dia pengen balikan lagi sama kamu. Dia pengen aku bujuk kamu supaya kamu balikan lagi sama dia. Pleas Ra, kasih dia kesempatan yang kedua kalinya. Ini permintaan terakhir aku.” Kata Geni.
“Ngga Gen, kamu ngga boleh ngomong kaya gitu. Pleas jangan bilang kaya gitu lagi sama aku.” Pintaku.
“Ra, ini memang udah akhir hidupku. Jadi, jangan kecewain aku. Pleas kamu balikan lagi sama Iwan. Iwan udah berubah, dia ngga kaya dulu lagi. Pleas…” Pinta Genida memohon.
Aku lagi-lagi memandang ke arah Iwan. “Baiklah…aku beri dia kesempatan sekali lagi.” Kataku akhirnya.
Genida tersenyum. “Oya Ra, nih tolong kita nyanyi bareng-bareng ya sekarang? Itu permintaanku.” Pinta Genida memberikan selembar syair lagu padaku.
Aku lalu, bermain gitar dan Genida bernyanyi. Walaupun ia sakit, suaranya masih tetap bagus seperti dulu. Tiba-tiba suara Genida melemah bahkan tak terdengar suaranya lagi. Matanya langsung tertutup. Dan aku langsung menghentikan permainan gitarku. Pelan-pelan aku membangunkan Genida,
“Gen…Gen…Genida…bangun…katanya pengen nyanyi bareng lagi sama aku. Pleas Gen jangan bercanda. Aku ngga suka kamu bercanda kaya gini…” kataku sambil menangis. “Gen…pleas bangun…pleas. Gen, Gen, Geni… kamu jahat, kamu ninggalin aku dengan cara kaya gini? Kamu jahat!!!” teriakku sambil menangis. Aku memeluk Iwan dengan terisak-isak. Mamah, papah Geni dan Dokter pun datang, dan kata dokter Genida sudah tiada, dia sudah tak terselamatkan lagi.
Itulah nyanyian terakhir Genida. Burung yang berkicau indah sekarang sudah tiada. Sahabat yang slalu didekatku pun dia tlah hilang dan pergi untuk selamannya.

*30 Agustus 2010*
Share:

Bintang Lala

“Lala, apa yg lagi kamu lakukan di atap genteng seperti itu?” teriak ibu Lala dari bawah tangga kamarnya.
“Iya, bu, Lala turun sekarang.” Jawab Lala sambil dia turun dari atapnya.
Lala, gadis remaja berusia 16 tahun, tinggal bersama ayah ibunya di sebuah desa yang sangat indah pemandangannya. Rumahnya mempunyai 2 tingkat, namun di dalam kamarnya tersembunyi sebuat ruang dimana dia bisa melihat bintang setiap malam. Kamarnya bercahaya, karena dia sangat menyukai cahaya bintang dan bentuk bintang yang lucu. Berbagai macam pernak-pernik bintang dia punyai, hingga dari tas sekolahnya pun berbentuk bintang. Gara-gara hal itu, dia pun di juluki ‘Miss Star’ oleh teman-teman di sekolahnya. Lala turun menuju meja makan menemui kakak dan ayah ibunya yang sudah menunggunya. Kakak Lala bernama Rangga, Rangga adalah mahasiswa semester 4 disalah satu Universitas swasta di Jakarta. Kebetulan dia sedang berlibur, sehingga dia menyempatkan pulang bertemu keluarga terutama Lala, sang adik tercinta.
“Dasar anak kecil. Kita disini udah nungguin kamu dari tadi dek. Ngapain kamu berada di atap? Kaya orang ilang aja.” Tegur Rangga.
Lala hanya bisa tersenyum, karena dia yakin kakaknya pasti tahu apa yang sedang dilakukannya di atas sana. Tapi tiba-tiba…
“Mas Rangga sirik aja. Kaya gak tau aja Lala lagi ngapain disana. Liat bintang mas. Lucu deh, terang. Lala kan punya impian biar bisa terang kaya bintang yang slalu menerangi kita setiap malam.” Ketus Lala.
“Iya dek, tapi kalo hujan kamu juga kan gak bisa liat tuh bintang. Wekkk” Ledek Rangga.
Lala hanya tersenyum sinis, karena Lala tahu kakaknya selalu meledeknya.
“Sudah sudah. Ibu heran sama kalian berdua. Kerjaannya hanya bisa berantem saja. Rangga, hargai niat baik adik kamu itu.” Ujar ibu mereka.
“Rangga kan cuma bercanda aja bu. Lagian Rangga tau, si Lala jelek ini hanya bisa tahu tentang bintang aja.” Kata Rangga.
“Hiyaaahhh… masih mending Lala tahu banyak tentang bintang, ketimbang mas Rangga, yang ada dipikirannya cuma cewek mulu. Wekzzz.” Balas Lala.
“Hiyaagz, bagus, buka kartu kamu sama ayah ibu. Awas kamu, tunggu pembalasan dari mas.” Ujar Rangga.
Lala hanya tertawa begitu pula ayah ibu mereka yang sedang menikmati makanannya hanya bisa tersenyum melihat tingkah kedua anaknya. Sungguh keluarga yang sangat menakjubkan, kebahagiaan yang slalu didapat oleh Rangga dan Lala.
Malam semakin larut, tiba saat mereka untuk menghilangkan penat dan rasa lelah dengan pergi ke kamar masing-masing. Begitu pula Lala, yang setelah makan belajar sejenak lalu dia pergi ke atap lagi bercurhat pada bintang.
‘Bintang, adakah perasaan ini slalu datang ketika aku melihatnya? Kenapa aku begitu menginginkannya. Aku berharap di umurku ke 17 nanti, dia akan datang padaku dan mengatakan bahwa dia akan jadi penerang selama hidupku. Umur 17 tahunku masih ada 1 bulan lagi. Adakah dia juga akan menerima perasaanku? Ahh itu tidak mungkin, aku hanya ingin memendam saja perasaanku ini.’
Itulah sekilas curhatan Lala terhadap bintang pilihannya. Yah, rupanya Lala sedang jatuh cinta pada teman satu sekolahnya. Lala langsung beranjak ke kasur dan dia berharap ketika bertemu dengan orang yang disukainya besok, dia akan melewatinya dengan mudah tanpa gangguan apapun buat dirinya.
***
Keesokan paginya Lala mendengar alunan lagu dari Sheila On 7 berjudul ‘Hari Bersamanya’ yang memang sesuai untuknya hari ini. “Hari telah berganti, tak bisa ku hindari tibalah saat ini bertemu dengannya… jantungku berdegup cepat, kaki bergetar hebat…” Belum selesai dia bernyanyi Rangga masuk mengageti Lala tanpa mengetuk pintu kamarnya.
“Nahh lhooo, mau ketemu sama siapa hayo? Mas bilangin ibu baru tau rasa loo…” ledek Rangga.
“Hiyaahhh mas Rangga!!! Ketuk pintu kamar dulu kek, masuk gak ketak-ketuk gitu, nylonong aja kaya maling. Kalo pas Lala lagi ganti baju gimana coba? Wuuu…” Kata Lala marah.
“Wahhh… lagian pintu gak dikunci salah siapa. Jadi mas fikir Lala udah siap. Wekkk” ledek Rangga lagi.
“Huhhh… seneng banget nyiksa Lala, mending mas berangkat aja deh sana. Ngapain juga pulang-pulang. Pulang juga ngusilin Lala doank…” ujar Lala yang sedang sensi hari ini.
“Iya deh iya maaf. Wah, kok lagunya ‘Hari Bersamanya’ emang mau ketemu sapa kamu dek? Awas yaa kalo macem-macem…” tanya Rangga (curiga).
“Mas Rangga, curigaan mulu deh.. emang kalo nyanyi lagu itu adakah Lala menyembunyikan sesuatu apa? Mas mau tau aja urusan orang…” jawab Lala.
Tapi, lagi-lagi Rangga meledek Lala. Karena Rangga curiga dengan tingkah Adiknya akhir-akhir ini. Dia tidak biasanya melihat Lala, berlama-lama di atap tuk melihat bintang hingga tengah malam. Setidaknya dia tahu, kalau Lala sedang duduk di atap rumahnya lama, biasanya dia mengajaknya untuk bercurhat bareng di atap.
“Dek, mas anterin yah?” ajak Rangga.
“Hiyah? Kok tumben mas mau nganter Lala? Lala curiga pasti ada maunya deh?” ucap Lala.
“Ngapain juga ada maunya, mesti nganter kamu dulu? Berlama-lama mah males euy.” Kata Rangga. “Lagian nih ya, mas kangen sama sekolah. Pengen liat tuh sekolah udah kaya gimana sekarang.” Lanjut Rangga.
Akhirnya Lala pun tidak mengelak dan pagi itu di boncengin oleh Rangga, Lala pun berangkat sekolah. Sesampainya di sekolah, Lala terkejut melihat seorang laki-laki berdiri di pintu gerbang seperti menunggu seseorang disana. Lala terdiam dan melamun sejenak sambil melihat ke arah laki-laki itu ‘sedang apa dia disana? Adakah dia menungguku? Ahh tidak mungkin. Dia pasti sedang menunggu pacarnya. Huh..’ katanya dalam hati. Namun Rangga melihat tingkah adiknya, dan dia hanya bisa tersenyum.
“Nah lho.. kamu lagi ngeliatin cowok itu ya?” Tanya Rangga.
“Apaan si mas? Nggak, ngapain juga ngeliatin dia? Kaya gak ada yang bisa di liat lagi.” Jawab Lala tergugup-gugup. “Udah ah, Lala masuk kelas dulu. Udah siang nih…” ujar Lala lagi.
“Iya, iya sono dah.. belajar yang rajin yey, jangan ngelamunin cowok mulu.” Kata Rangga.
Lala hanya membalas dengan senyum dan menjulurkan lidah ke arah Rangga. Saat akan masuk pintu gerbang Lala pun di kejutkan dengan kedua sahabatnya si kembar Disha dan Desi.
“Huwaahh itu mas Rangga ya La?” yanya Disha.
“Iya, kenapa?” tanya Lala balik.
“Waaahhh,,, makin ganteng dia. Hadudududu.” Kata Desi.
“Ahh… kalian berdua berisik deh. Mas Rangga itu malah tambah jelek tau. Udah gak usah bahas mas Rangga lagi yah?” kata Lala.
“Kok gitu? Ahh, ayo Des besok minggu kita main ke rumah Lala. Pengen liat mas Rangga nih…” kata Disha.
“Ihhh.. kalian apaan si. Besok minggu mas Rangga berangkat ke Jakarta lagi. Udah ah. Masuk kelas.” Ucap Lala (sewot).
Saat dia berjalan akan masuk kelas, dia melihat laki-laki yang tadi berdiri di pintu gerbang berjalan bergandengan dengan seorang perempuan. Lala sempat merasakan kecewa dan cemburu, karena dia beranggapan ‘seharusnya, cewek yang ada disebelahnya itu aku. Bukan dia’. Terdengar suara Disha yang memanggil-manggi namanya.
“La, Lala… bangun La.” Sapa Disha.
Lala terbangun dari kesadarannya dan ternyata dia jatuh pingsan. Karena saat akan memasuki ruang kelas, dia melamun dan akhirnya bola basket mengenai kepalanya. Lala sempat memencet kepalanya yang jendol kena bola basket.
“Kamu gak apa-apa kan?” Tanya seorang suara laki-laki tiba-tiba.
“Eh iya, gak papa kak.” Jawab Lala.
Lala tersentak kaget, karena ternyata yang menolongnya adalah Bintang, laki-laki yang selama ini dia sukai dan kagumi. Bintang adalah kakak kelas sekolahnya, dia adalah laki-laki terhebat yang pernah Lala temui. Selain Bintang itu baik, dia juga sering menjuarai pertandingan bola basket dan juara kelas. Makanya Lala, betah berlama-lama melihat bintang di atap rumahnya dia.
“Maaf ya dek, tadi temenku main bola mengenai kepalamu.” Ucap Bintang.
“Gak apa kok kak, ini juga udah baikan.” Balas Lala dengan senyumannya.
“Nama kamu sapa dek?” Tanya Bintang.
“La…Lala kak.” Jawab Lala.
“Tapi dia sama yang lain sering dipanggil miss star kak…” seletuk Disha.
Lala kaget dan langsung menutup mulut Disha dan berbisik di telinganya “Kenapa kamu bilang begitu? Aku kan malu Dis… haduh parah kamu mah” kata Lala sedikit jengkel.
Bintang pun bertanya-tanya pada Disha, “Kenapa Lala dijuluki miss star dek ?”
“hehe.. itu itu karna dia sangat suka sama bintang yang dilangit kak. Liat aja tuh kak, tas nya aja juga berbentuk bintang kan?” jawab Disha.
Bintang hanya tersenyum melihat perilaku Lala yang malu-malu seperti itu, tiba-tiba terbesit pikiran Bintang ‘Ini anak manis juga. Sepertinya lucu dan aku senang kalau didekatnya dia’.
“Kak, aku ke kelas dulu ya. Makasih bantuannya kak.” Kata Lala yang mengejutkan lamunan Bintang.
“Eh La, boleh tau nomer HP kamu? Ya, kan sekedar buat menjalin silaturahmi gitu. Biar jangan sampai di tragedi hari ini aja.” Kata Bintang sambil memberi Lala HPnya agar Lala langsung mencatat nomornya di HPnya.
“Oh iya. Boleh kak.” Jawab Lala.
***
Sesampainya di rumah Lala langsung diserbu oleh Rangga. Rangga kaget saat dia melihat kening Lala berwarna biru kemerah-merahan.
“Dek, kepala kamu kenapa?” Tanya Rangga heran, sambil berusaha memegang kening Lala. Namun Lala menghindar. “Kamu gak kenapa-napa kan dek?” tanya Rangga lagi.
“Gak mas, gak papa. Lala tadi cuma kena lemparan bola basket aja kak.” Jawab Lala.
“Hiyah, siapa yang ngelakuin itu? Apa perlu mas kasih pelajaran sama dia?” tanya Rangga lagi.
“Gak usah mas gak usah. Lagian juga uda baikan kok.” Jawab Lala, sambil tersenyum dan menari-nari masuk ke kamarnya. “Dah mas Rangga, Lala ke kamar duluan ya” katanya lagi.
Rangga hanya heran ‘Ada apa dengannya, kenapa kening jendol kaya gitu dia malah seneng? Harus cari tahu.’ Katanya dalam hati.
Saat di kamar, tiba-tiba HP Lala berdering tanda bunyi SMS telah masuk. ‘nomer baru? Siapa?’ tanyanya dalam hati.
Hai La, uda baikan kan yang kena bola tadi? Maaf lho ya, temenku emang bego gitu si. Hehehe… eh, rumah kamu dimana si? Boleh donk kakak maen ke rumah kamu? Ttd. Bintang.”
Hah?? Kak Bintang SMS aku? Huwaaa kenapa jadi deg deg gini? Haduh aku balas gimana ya? Tanya rumahku juga pula…’ Lala shock tidak tahu harus membalas SMS Bintang seperti apa. Tapi, dia bahagia, sangat bahagia. Kejadian hari ini, benar-benar membuatnya ingin mengulangnya sekali lagi. Bahkan dia sempat mencubit pipinya sendiri yang chubby adakah ini mimpi atau kenyataan. Lala pun langsung mencoba membalas SMS dari Bintang.
Ehh… uda kok kak. Tadi uda di kasi air hangat biar kempes ini. Hoho :D rumahku, ada di desa Alam Baru kak. Jauh dari kota kak. Hehe :D” balasnya.
Tak beberapa lama kemudian Bintang pun membalas SMSnya lagi. “Waahh itu kan desanya enak banget. Kapan-kapan kakak maen yaaa dekk… lha km kalo skola pake apa?” tanya Bintang lagi dalam SMSnya. Lala pun membalasnya lagi, hingga makan malam tiba Lala pun membawa HPnya ke meja makan. Karena Lala dan Bintang masih melanjutkan SMS mereka. Rangga yang melihat heran dengan tingkah Lala, tidak kalah ayah ibu Lala yang penasaran.
“Dek, makan dulu. Baru balas SMSnya nanti lagi.” Tegur ibu Lala.
“Bentar bu, tanggung ini.” Jawab Lala.
“Dek, dengerin ibu kenapa si?” Kata Rangga agak sedikit kesal dengan tingkah adiknya.
“Mas kok malah yang sewot? Terserah Lala donk?” balas Lala.
Ayah, Ibu dan Rangga kaget dengan tingkah Lala yang berubah. Mereka tidak menyangka Lala sebegitu kerasnya. Lala tersadar dengan sikapnya kemudian.
“Maaf mas, ayah, Ibu… tadi Lala keceplosan. Iya Lala makan dulu.” Kata Lala berubah jadi lembut.
Setelah selesai makan, Lala langsung masuk kamar dan pergi menuju atap kamarnya dengan membawa HP. Rangga mengikutinya dan dia langsung masuk ke kamar Lala dengan menyusulnya ke atap menemui Lala dan langsung duduk disampingnya.
“Eh mas Rangga. Maaf mas tadi Lala gak sengaja ngelawan ibu.” Kata Lala menyesal.
Rangga langsung merangkul adiknya. “Gak nyangka kalau adik mas ini uda gede. Dan besok sudah berumur 17 tahun” katanya.
“Mas gak marah sama Lala?” tanya Lala.
“Ngapain mas marah sama kamu? Mas tahu, apa yang sedang kamu fikirkan akhir-akhir ini. Trus kenapa kamu sering bawa HP kemana saja sekarang. Kamu lagi jatuh cinta ya?” tanya Rangga meledek Lala.
Lala tersipu malu dengan pertanyaan yang di ajukan Rangga.
“Kok mas tahu si?” tanyanya lagi.
“Taulah, siapa dia dek?” tanya Rangga balik.
Lala pun akhirnya bercerita dengan Rangga yang sebenarnya. Kenapa dia lebih lama melihat bintang sekarang? Kenapa dia slalu bawa HP kemana saja dia pergi, kenapa dia slalu mendengarkan lagu ‘Hari Bersamanya’ milik Sheila On 7 setiap pagi, karena itu semua yang mengubahnya adalah Bintang, kakak kelas sekaligus cowok yang di sukai oleh Lala. Rangga hanya bisa tersenyum dan meledek Lala terus menerus, namun setidaknya dia senang bahwa adiknya sudah besar dan bisa merasakan jatuh cinta.
“Terus mas Rangga gimana? Sama siapa sekarang?” tanya Lala.
“Udah ada. Tar mas kenalin deh yaa. Bentar lagi mas ajak dia ke rumah kok.” Jawab Rangga.
Meski Lala penasaran dengan pacar Rangga sekarang, tapi dia lega karena kakaknya bisa mendengar curhatnya dia.
***
Hari ini Lala genap berumur 17 tahun. Dia berharap bahwa di umur dia yang ke- 17 ini Bintang bisa memintanya untuk menjadi pacarnya. ‘ahh berkhayal. Kak Bintang kan suka cewek yang gaul dan keren. Masa dia suka sama gadis udik kaya aku. Yang hanya tau tentang bintang aja.” Tiba-tiba terdengar ketokan pintu kamar Lala. Kejutan pun muncul di balik pintu dengan ayah, ibu dan Rangga membawa kue ulang tahu untuk Lala. Namun, yang paling mengejutkan adalah datangnya seorang laki-laki dan seorang perempuan. Begitu pula Disha dan Desi yang tiba-tiba muncul di balik pintu.
“Kak Bintang?” tanya Lala kaget. Lalu dia melirik seorang gadis disamping Bintang. “Cewe ini? Bukannya?” Tanya Lala lagi.
“Kenapa dek? Dia mbakku.” Jawab Bintang.
“Hiyaahhh… ku fikir dia pacarnya kak Bintang?” tanya Lala lagi.
“Emang kamu pernah liat?” tanya Bintang lagi penasaran.
“Pernah kak, waktu aku kena bola dulu itu. Itu karna aku liat kak Bintang jalan sama dia.” Jawab Lala.
Orang yang berada di dekat Lala tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Lala.
“Jadi kamu, tidak melihat ada bola. Karna kamu jealous aku jalan sama dia?” ledek Bintang.
“Dasar dodol kamu dek.” Kata Rangga. “Dia itu pacarnya mas. Waktu itu ke sekolah karna ada hal yang harus di urusin disana. Namanya mba sekar.” Lanjut Rangga.
“Hiyaa… berarti aku masih punya kesempatan donk?” kata Lala.
“Kesempatan apa?” tanya Bintang.
“Gak ada kak, gak ada.” Jawab Lala. “O..oo jadi ini pacar mas Rangga tho? Hallo mba Sekar?” sapa Lala sambil senyum dan menyalami Sekar.
“Iya dek, Rangga udah banyak cerita tentang keunikan dan kelucuannya kamu. Apalagi Bintang. Jadi mba uda tau banyak tentang sifat kamu. Lucu ya emang kamu itu.” Kata Sekar.
Ulang Tahun Lala, hari ini sungguh berkesan, karena dia telah menemukan satu bintang untuknya. Di tengah-tengah kericuhan dan kesibukan makan malam keluarga Lala, tiba-tiba Bintang menarik tangan Lala dan meminta kepada Lala untuk membawanya ke atap kamarnya dimana dia bisa melihat bintangnya. Mereka pun duduk bersebelahan di bawah terangnya bulan dan bintang malam itu.
“La, kakak pengen bilang kalo kakak mau jadi satu bintang yang slalu menerangi hatimu.” Kata Bintang.
Lala kaget, tiba-tiba Bintang berkata seperti itu. Tapi Lala senang dan hanya bisa tersenyum sambil menyandarkan kepalanya di pundak Bintang. Tiba-tiba Lala berbisik
“Terima kasih kak, kak Bintang bakal slalu menerangi hati Lala. Trima kasih juga untuk hari ini kak. Kado terindah yang Lala dapatkan.” Ucap Lala.
*ditulis tanggal 30 Agustus 2010*
Share: